ANALISIS RECHTVINDING OLEH HAKIM PADA PUTUSAN MK NOMOR. 21/PUU-XII/2014
Konsep kuno yang menempatkan hakim hanya sekedar corong Undang-undang tampannya oleh banyak kalangan, termasuk sebagian kalangan hakim sendiri diabad ke-21 ini masih dianggap berlaku. Paradigma hakim sebagai corong Undang-undang inilah yang harus dihapuskan dari praktik peradilan di Indonesia. Pertimbangan hakim adalah upaya terpenting dalam menemukan sisi keadilan. Romal Dworkin mengungkapkan bahwa membaca UUD iti tidak sama dengan membaca peraturan biasa. Kita perlu membaca dengan sungguh-sungguh dan membaca UUD tersebut sebagai pesan moral.
Adapun dalam permohonan pada putusn MK Nomor. 21/PUU-XII/2014 pemohon memiliki dalil yakni bahwa pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 28 D ayat 1, dan pasal 28 I ayat 5 UUD 1945, apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan penyitaan, dan pemeriksaan surat dan pemohon memohon pada MK untuk mengadakan suatu perluasan objek praperadilan yakni salah satunya dimasukannya penetapan tersangka sebagai salah satu objek yang dapat di praperadilankan.
Atas dasar tersebut, MK mempertimbangkan secara garis besar :
1. Yakni ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan HAM dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi penegak hukum;
2. Penegakan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Hukum harus ditegakkan demi terciptanya dan terealisasinya tujuan nasional NKRI;
3. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subyek manusia yang mempunyai harkat martabat yang sama dihadapam hukum;
4. MK berpendapat bahwa sejak berlakunya KUHAP pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematika dalam kehidupan masyarakat Indonesia;
5. Ditegakkan dn dilindunginya proses praperadilan adalah bertujuan agar tegaknya hukum dan perlindungan HAM sebagai tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan;
6. Dinyatakan apabila pasal angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak diperlukan Pranata praperadilan. Namun, Pranata praperadilan dihadirkan sebagai upaya realisasi perlindungan HAM yang termaktub dan dilindungi dalam UUD 1945. MK berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang punya harkat, martabat dan kedudukan yang sama dihadapan hukum;
Atas pertimbangan pertimbangan tersebutlah MK berpendapat bahwa dalil pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang diadili oleh Pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum. Dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim yang paling utama ada tiga hal yaitu KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. Penetapan tersangka belum menjadi isu penting dalam problematik dalam kehidupan bermasyarakat yang dinamis sejak KUHAP berlaku, maka objek penetapan tersangka haruslah menjadi hal yang perlu diajukan serta dasar pertimbangan hakim yang paling krusial adalah enegakkan HAM terhadap tersangka dalam proses penyidikan dan pemeriksaan yang harus direalisasikan.
Undang-undang bukanlah penuh dengan kebenaran dan jawaban paling tidak membutuhkan beberapa tafsiran. Dalam memutus perkara ini MK menganut mazhab penemuan hukum. Hakim berperan besar dal menciptakan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang digunakan pegangan hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis.
Komentar
Posting Komentar