ASPEK HUKUM PENALARAN- ASPEK ONTOLOGIS, ASPEK EPISTEMOLOGIS, DAN ASPEK AKSIOLOGIS
1. Aspek Ontologis
Aspek ontologis mempersoalkan apa yang menjadi hakikat dari realitas. Materialisme berpendapat bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Jiwa bukanlah hakikat yang berdiri sendiri, melainkan akibat dari perbuatan benda-benda materi. Pandangan yang bertolak belakang dari materialisme adalah idealisme. Menurut idealisme, hakekat pengada itu itu justru unsur rohani, materi hanhyalah penjelmaan dari yang pertama.
Aspek Ontologis ini dapat dialirkan ke suatu kata “kebudayaan”. Menurut C.A Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang.
Koentjaraningrat kemudian membagi perwujudan kebudayaan itu kedalam tiga bentuk, yaitu :
A. Suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb;
B. Suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;
Benda- benda hasil karya manusia.
Faktor anthropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia bukanlah makhluk rasional yang sudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia perlu berkarya agar dapat membuat dunianya menjadi lebih bermakna. Potensi manusia inilah yang menjadikannya sebagai agen kebudayaan.
2. Aspek Epistemologis
Manusia dapat mengembangkan pengetahuannya karena memiliki dua modal utama, yaitu bahasa yang komunikatif dan kemampuan berpikir menurut kerangka tertentu.
Penalaran dimaknai oleh Lorens Bagus dalam tiga pengertian ;
A. Proses menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan;
B. Penerapan logika dan/atau pola pemikiran abstrak dalam memecahkan masalah atau tindakan perencanaan;
C. Kemampuan untuk mengetahui beberapa hal tanpa bantuan langsung persepsi inderawi atau pengalaman langsung.
Pengetahuan selalu dikaitkan dengan daya nalar manusia. Kebenaran menurut Empirisme berangkat dari pendekatan Teori Korepondensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan benar apabila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Pendekatan induktif yang digunakan Empirisme ditentang oleh aliran berpikir Rasionalisme. Rasionalisme adalah aliran dasar dalam epistemologi yang menganggap sumber pengetahuan satu-satunya adalah rasio. Rasionalisme sendiri tidak menolak besarnya manfaat pengalaman inderawi dalam kehidupan manusia. Maka menurut pendapat kaum Rasionalis akal berada di atas pengalam inderawi.
Descrates (1596-1650) adalah tokoh penting dalam Rasionalisme. Ia melihat realitas sebagai substansi yang terdiri dari dua macam:
1) Ide, gagasan, pikiran, atau kesadaran (res cogitan);
2) Materi atau perluasan (rexx extensa).
Kesadaran tidak terikat pada ruang dan waktu kalau perluasan adalah sebaliknya. Descrates berpendapat eksistensi manusia itu diitentukan oleh kesadarannya sesuai denggan slogannya yang terkenal “Cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada).
Pendapat Descrates ini kemudian ditentang oleh Baruch Spinoza (1632-1677) yang berpendapat bahwa kedua hal tersebut baik kesadaran dan perluasan menyatu dalam ungkapan tentang alam (termasuk Tuhan), sehingga keduanya juga terikat pada ruang dan waktu. Alam dan Tuhan ini kemudian diidentikkan oleh Spinoza(Panteisme).
Kemudian Immanuel Kant (1772-1804) menyuarakan pendapatnya tentang kekhawatirannya terhadap dikotomi empiris dan rasio, yang dipicu oleh dampak perdebatan epistemologis yang ternyata telah menyetuh wilayah teologis seperti diungkapkan Spinoza. Menurut Kant dikotomi ini seharusnya tidak perlu ada , karena keduanya dpat saling mengisi.
Kant membangun filsafat kritis yang berpedoman pada pernyataan bahwa “pemikiran tanpa iisi adalah kosong, sedangkan intuisi tanpa konsep adalah buta”.Isi dan intuisi disini menyangkut data empiris, sedangkan konsep adalah bentuk pikiran.Pendekatan kompromis ala Kant ini tidak cepat popular, karena G.W. Friedrich Hegel (1770-1831) tetap bertahan dengan pendekatan dikotomis. Ia meradikalkan filsafat Kant dengan pendirian bahwa “apa yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata. Bagii Hegel realitas yang ada pada dasarnya berjalan secara dialektis menuju totalitas roh absolute.
Kemudian berlanjut kepada Karl Marx (1818-1883) yang membalikkan cara berpikiir Hegel (melalui pengarah Ludwig Feuerbach (1804-1872). Menurut Marx bukan rasio yang menentukan relitas kehidupan, tetapi sebaliknya. Jadi Rasionalisme pada Hegel kemudian menjadi Empirisme pada Marx, yang mengacu kepada dunia pengalamnyang ditentukan oleh factor ekonomi. Sejarah ditentukan oleh basis ekonomi yang kemudian secara mencolok terbentuk realitas dan suprastruktur yang meliputi duniia seni, ideologi, dan agama.
Setelah Kritisisme Kant kemudian ada aliran yang cenderung mengawinkan kedua pendekatan sebelumnya yaitu aliiran Positivisme. Aliran ini dianggap menjadi sumber inspirasi dari kelahiiran Positivisme logis.Positivisme pertama kali dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Beliau adalah pencetus Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stages), yakni tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau riil.. Pemikiran beliau diklaim sebagai “jembatan”antara Rasionalisme Descartes dan Empirisme Bacon. Pengertian positif menurut Comte terdiri dari beberaa kemungkinan yakni:
a. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian positif pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata.
b. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bermanfaat, maka penertian positif diartikan sebaggai pensifata sesuatu yang bermanfaat.
c. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertia positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti.
d. Sebagai lawan atau kebalikan Sesutu yang kabur maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas dan tepat.
e. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negative, maka pengetan “positif” dipergunakan untuk menunjukkan siifat-sifat pandangan fiilsafatnya, yang selalu menuju kea rah penataan dan penertiban.
Keyakinan Positivisme menuai kritik karena tidak semua orang percaya pada keandalan indera dan akal manusia. Manusia tidak akan mampu menangkap hakikat dari keseluruhan suatu objek, jiika hanya mengandalkan pada pengetahuan atas bagian-bagian tertentu dari objek itu. Pengetahuan tentang hakikat suatu objek tidak sama dengan penjumlahan atas pengetahuan dari bagian-bagian tersebut. Sepert hakikat dari keadilan , tidak dapat diketahui hanya dengan memahamipersepi keadilan. Sebagai jalan keluarnya, harus dicari modalitas lain yaitu intuisi. Menurut Kant Intuisi adalah suatu data empiris yan menentukan isi
Pandangan Henri Bergson (1859-1941) yang dikenal sebagai perintis kajian komprehensif tentang intuisi, dalam pandangannya Bergson membedakan intuisi dengan rasio terletak pada konsep durasi. Yaitu sebuah proses yang mengalir tanpa akhir. Menurut pengakuan para ahli uraiaimtuisi dari Bergson ini sulit dipahami, khususnya pada konsep durasi yang dimaksud.
Bergso yang pada masa mudanya tertarik pada teori evolusi Spencer, menyatakan intuisi merupakan “the highest human faculty” produk evolusi kesadaran manusia ia menggabungkan penemuan-penemuan dalam ilmu biiologi dengan teori kesadaran manusia. Dalam bukunya “Creative Evolution” (1907) Bergson berpendapat bahwa kunci evolusi ada pada dorongan kreatii manusia, tidak mengubah fisik seperti teor Darwin. Kecerdasan berkembang sebagai Instrumen manusia untuk bertahan hidup dan menyimpulkan intsrumen itu sebagai energy yang hidup. Bagi Bergson, kecerdasan intuitif itulah yang mampu membimbing manusia mencapai kebenaran filosofis tentang kehidupannya.
3. Aspek Aksiologis
Kiranya sudah menjadi aksioma bahwa tindakan manusia adalah fungsi dari kepentingannya. Jika tindakan dilatarbelakangi oleh motivasi, maka tentu menjadi pertanyaan besar di belakangnya tentang ada tidaknya kebebasan dalam kehendak manusia. Tentu saja yang dimaksud dengan tindakan disini adalah terutama dalam kaitannya dengan tindakan manusia dalam melakukan penalaran, mencari pengetahuan.
Aspek Aksiologis dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1) Idealisme-etis
Aspek yang meyakini bahwa ukuran baik-burukdalam bertindak ditetapkan oleh nilai-nilai spiritual.
2) Deontologisme-etis
Diambil dari kata Yunani “deon” yang bearti apa yang harus dilakukan atau kewajiban. Deontologiisme menilai baik buruk suatu tindakan dari sudut tindakan itu sendiri, bukan dari akibatnya
3) Teologisme-etis (Eudemonisme)
Karena ukurannya adalah hasil, maka aspek aksiologis lalu merambah kebanyak sisi, baik dari sudut psikologis maupun ekonomis. Kemudian pandangan ini menurut Sonny Keraf memunculkan dua sub pemikiran, yaitu Egoisme dan Utilitarianisme.
Pandangan Egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri.
Egoisme-etis didefinisikan sebagai teori etika yang menyatakan bahwa satu-satunya tolak ukur mengenai baik-buruk suatu tindakan seseorang adalah kewajiban untuk mengusahakan kebahagiaan dan kepentingannya diatas kebahagiaan dan kepentingan orang lain.. egoisme-etis adalah aspek aksiologis yang bermakna netral karena pada dasarnya setiap orang memang perlu menimbang-nimbang kemanfaatan pribadi dari setiap tindakannya. Egoisme juga dapat berbelok ke arah yang negatif apabila secara psikologis tertanam bahwa tujuan dan kepentingan pribadi adalah segala-galanya, sehingga tujuan menghalalkan cara (ends justify the means). Sisi negatif inilah yang menjadi inti pemikiran Egoisme-psikologis.
Komentar
Posting Komentar