HUKUM PENALARAN

TEORI DALAM PENALARAN HUKUM
1.Hermeneutika dan Konstruktivisme
Hermeneutika dan Konstruktivisme adalah dua model penalaran yang terkait sangat erat. Konstruktivisme tidak mungkin ada tanpa bangunan hermeuneutis di dalamnya.model ini memiliki keistimewaan dari model penalaran lain karena menjadi state of the art dalam teori-teori epistemologis era postmodern dan sejak awal sengaja didesain untuk ilmu-ilmu social atau kemanusiaan.
2.Sociological Jurisprudence
Merupakan model penalaran yang sifat elektifitasnya kuat. Model ini berangkat dari system common law, khususnya Amerika Serikat, namun kelebihannya dalam mengawinkan antara ketertutupan logika Positivisme Hukum dan keterbukaan logika Mazhab Sejarah telah menarik perhatian banyak penstudi hukum dilingkungan civil law. Bagi sistem hukum Indonesia, yang sebagian masih disokong oleh unsur hukum adat, penempatan model penalaran Sosiological Jurispudence juga membuka arah pemahaman yang lebih holistic. Sebagaimana yang dikatakan Soetandyo Wignjosoebroto, hukum adat sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law.
3.Teori Hukum Pembangunan
Teori yang lahir karena ketertarikan Mochtar Kusumaatmadja terhadap Sosiological Jurispudence. Teori ini dijadikan applied theory karena memang dirancang oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan melihat kebutuhan-kebutuhan pembangunan di Indonesia.Konsep berpikir teori iniitelah diiterima secara normatifsebagai konsep pembinaan hukum di Indonesia sejak 1973. Teori ini memiliki kedekatan dengan grand theories dan middle-range theory dengan meletakkannya dalam ruang lingkup keluarga sistem civil law.




ASPEK ONTOLOGIS,  EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS
1. Aspek Ontologis
Aspek ontologis mempersoalkan apa yang menjadi hakikat dari realitas. Materialisme berpendapat bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Jiwa bukanlah hakikat yang berdiri sendiri, melainkan akibat dari perbuatan benda-benda materi. Pandangan yang bertolak belakang dari materialisme adalah idealisme. Menurut idealisme, hakekat pengada itu itu justru unsur rohani, materi hanhyalah penjelmaan dari yang pertama. 
Aspek Ontologis ini dapat dialirkan ke suatu kata kebudayaan. Menurut C.A Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. 
Koentjaraningrat kemudian membagi perwujudan kebudayaan itu kedalam tiga bentuk, yaitu :
Suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb;
Suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;
Benda- benda hasil karya manusia.
Faktor anthropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia bukanlah makhluk rasional yang sudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia perlu berkarya agar dapat membuat dunianya menjadi lebih bermakna. Potensi manusia inilah yang menjadikannya sebagai agen kebudayaan. 
2. Aspek Epistemologis
Manusia dapat mengembangkan pengetahuannya karena memiliki dua modal utama, yaitu bahasa yang komunikatif dan kemampuan berpikir menurut kerangka tertentu.
Penalaran dimaknai oleh Lorens Bagus dalam tiga pengertian ;
a. Proses menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan;
b. Penerapan logika dan/atau pola pemikiran abstrak dalam memecahkan masalah atau tindakan perencanaan;
c.  Kemampuan untuk mengetahui beberapa hal tanpa bantuan langsung persepsi inderawi atau pengalaman langsung.
Pengetahuan selalu dikaitkan dengan daya nalar manusia. Kebenaran menurut Empirisme berangkat dari pendekatan Teori Korepondensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan benar apabila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. 
3. Aspek Aksiologis 
Kiranya sudah menjadi aksioma bahwa tindakan manusia adalah fungsi dari kepentingannya. Jika tindakan dilatarbelakangi oleh motivasi, maka tentu menjadi pertanyaan besar di belakangnya tentang ada tidaknya kebebasan dalam kehendak manusia. Tentu saja yang dimaksud dengan tindakan disini adalah terutama dalam kaitannya dengan tindakan manusia dalam melakukan penalaran, mencari pengetahuan. 
Aspek Aksiologis dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
a.      Idealisme-etis
Aspek yang meyakini bahwa ukuran baik-burukdalam bertindak ditetapkan oleh nilai-nilai spiritual.
b.      Deontologisme-etis
Diambil dari kata  Yunani deon yang bearti apa yang harus dilakukan atau kewajiban. Deontologiisme menilai baik buruk suatu tindakan dari sudut tindakan itu sendiri, bukan dari akibatnya
c. Teologisme-etis (Eudemonisme)
Karena ukurannya adalah hasil, maka aspek aksiologis lalu merambah kebanyak sisi, baik dari sudut psikologis maupun ekonomis. Kemudian pandangan ini menurut Sonny Keraf memunculkan dua sub pemikiran, yaitu Egoisme dan Utilitarianisme.


MODEL MODEL HUKUM PENALARAN 
Modalis dalam aspek-aspek ontologis,  epistemologis,  dan aksiologis di atas membawa pengaruh besar terhadap pola dalam model-model penalaran pada ilmu-ilmu pada umumnya. Ada sangat banyak model penalaran yang dikenal dalam wacana epistemologis,  khususnya tentang pokok bahasan pertumbuhan pengetahuan ilmiah. 
1. Positivisme dan empirisme Logis
Teori yang dibawa aliran positivisme logis berpegang pada empat asas, yakni Empirisme, Positivsme,  Logika, dan Kritik Ilmu. Pada awal perang dunia II, positivisme logis digantikan oleh aliran empirisme logis yang mempersempit teori pengetahuan dari positivisme logis. Menurut empirisme logis, asas yang relevan cukup dua saja,  yakni empirisme dan logika. 
Asas empirisme berarti mengandalkan pengalaman langsung. Sementara itu,  positivisme mengandung pengertian bahwa pengertian positif (seperti diperkenalkan Auguste Comte) pasti berguna untuk membangun masyarakat. 
Sekalipun sangat mengandalkan logika induktif,  pada titik tertentu, model penalaran empirisme logis ini harus mengubah pola penalarannya menjadi deduksi. Hal ini dilakukannya apabila :
Generalisasi empiris ingin dipakai untuk melakukan peramalan fakta-fakta baru,  yang hasilnya diharapkan dapat mengkonfirmasi generalisasi empiris yang ada,  sehingga akhirnya dapat dijadikan hukum empiris; 
Teori ingin dipakai untuk melakukan perumusan hipotesis. 
2. Rasionalisme Kritis
Rasionalisme kritis muncul terutama untuk mengkritisi positivisme logis. Tokoh besar dibalik kelahiran aliran ini adalah Karl R.  Popper (1902-1994). Nama Popper lazimnya dikaitkan dengan asas-asas pokok teorinya tentang pertumbuhan ilmu,  berbeda dengan Positivisme dan Empirisme logisbyang lebih menyoroti struktur ilmu. 
Popper menolak keras perolehan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Keberatannya tidak berkenaan dengan bentuk formal dari penalaran induktif tersebut,  melainkan pada cara pengisian bentuk formal itu. Menurutnya adalah mustahil menarik kesimpulan yang berlaku umum tanpa terikat ruang dan waktu berdasarkan premis-premis spesifik dengan jumlah yang terbatas. Itulah sebabnya,  ia sampai pada kesimpulan bahwa penalaran yang tepat adalah dengan penalaran deduktif. 
Teori adalah ciptaan manusia,  demikian menurut Popper. Teori hanyalah pendugaan atau pengiraan,  yang berarti teori tidak pernah benar mutlak. Ilmu baru dapat berkembang jika tiap-tiap teori secara terus menerus diuji kebenarannya. Cara pengujiannya adalah dengan menunjukkan kesalahan dari teori itu,  bukan sebaliknya. 
3. Empirisme Analitis
Teori ilmu dari kaum empirisme analitis dibangun dengan semangat untuk mengatasi kekurangan positivisme dan empirisme logis yang rasionalisme kritis. Sekalipun demikian,  menurut Wuisman,  teori yang dikemukakan empirisme analitis bukan penggabungan murni dari kedua aliran berpikir diatas,  melainkan hanya suatu penyesuaian lebih lanjut dari model penelitian ilmiah yang dikembangkan oleh positivisme dan empirisme logis pada titik-titik kritik yang dilontarkan terhadapnya oleh rasionalisme kritis. Empirisme analitis menggambarkan proses penelitian ilmiah sebagai sebuah siklus. Teori ini timbul dalam hubungan dengan usaha-usaha untuk menerapkan positivisme dan empirisme logis pada bidang studi ilmu sosial tertentu. 
4. Hermeneutika dan Kontruktivisme Kritis
Kedua model penalaran ini dibicarakan bersama-sama karena beberapa pertimbangan. Pertama,  tulang punggung dari kontruktivisme kritis adalah interaksi timbal balik yang interpretatif antara teori dan empirisme. Kedua,  hermeneutika sebagai suatu model penalaran memerlukan kerangka penjelasan yang lebih komprehensif dalam kaitannya dengan pengembangan pengetahuan ilmiah.  Untuk itu,  kerangka tersebut disediakan oleh kontruktivisme.  Ketiga,  sekalipun ia mampu membantu hermeneutika menemukan kerangka penjelasannya, model penalaran kontruktivisme kritis ini belum banyak dikenali, sehingga deskripsi terhadap model penalaran tersebut akan lebih mudah dipahami jika diuraikan bersamaan dengan atau didahului oleh hermeneutika. 
Diluar ketiga alasan tersebut,  dan terlepas dari belum banyak dikenalnya kontruktivisme kritis,  ada pertimbangan lain mengapa ia tetap diangkat sebagai salah satu model penalaran yang disoroti  dalam bab ini. Alasan ini erat kaitannya dengan konteks ke Indonesian, baik ditinjau dari sudut tokoh pengemukanya maupun substansi pemikirannya. 
Hermeuntika memperkuat penolakan terhadap upaya menuju ke pencarian ilmu yang berkesatuan. Ilmu alam dan ilmu sosial adalah dua bidang keilmuan yang memiliki perbedaan mendasar. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PT  MARIMAS TERHADAP KETENTUAN DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM FENOMENA OJEK ONLINE