MODEL MODEL PENALARAN HUKUM

A.Aliran Hukum Kodrat
Aliran ini menempatkan ontologi hukum  pada tataran yang sangat abstrak. Hakikat hukum dalam arti yang sebenarnya  dimaknai lebih dari asas-asas  dari pada norma. Keberadaan hukum positif tetap diakui eksistensinya, namun hukum positif ini dapat serta merta terancam keberadaanya seandainya tidak memenuhi persyaratan moralitas yang dibebankan oleh hukum kodrat.
Dalam hirarki hukum yang diintroduksi oleh Aquinas, khususnya pada tataran lex aeterna dan lex naturalis (natural law), tampaknya sarat dengan muatan hukum alam. Keniscayaan hukum ala mini berangkat dari dalil-dalil kausalitas. Dalil itu lalu didirikan diatasa\ bangunan silogisme yang berangkat dari premis-premis self-efident dan suprapositif.
Semua manusia mencintai keadilan adalah salah satu bentuk premis self-efident, yang mana manusia selalu rindu dan mencarinya sepanjang zaman. Pemaknaan hukum sebagai asas kebenaran dan keadilan dalam aliran hukum kodrat disokong oleh paham idealisme. Menurut paham ini, gagasan kebenaran dan keadilan itu tidak datang dari pengalaman, melainkan mendahulukan pengalaman (apriori bukan aposteriori). Gagasan ini adalah suatu yang sangat asasi sekaligus asli inilah yang harus dipertahankan eksistensinya pada setiap wujud hukum.Pola penalaran model aliran hukum kodrat sepenuhnya menunjukan kesamaan dengan penalaran moral. Legal reasoning di sini diidentifikasikan sebagai moral reasoning.
            Jika di asumsikan bahwa hukum adalah asas kebenaran, maka dapat dimaklumi bahwa satu hal yang paling menarik dari aliran hukum kodrat ini adalah keasikannya memfokuskan diri pada pengujian validitas normative, khususnya validitas (legitimasi) dari hukum buatan manusia.
Pola penalaran aliran hukum kodrat adalah intuitif,hal ini sejalang dengan karakteristik pemaknaan hukumnya berupa asas-asas kebenaran dan keadilan yang universal. Aturan-aturan yang dirumuskan dalam hukum kodrat itu pertama-tama menurut pencernaan intuitif, bukan rasio.

Pola penalaran darii model Aliran Hukum Kodrat diformulasikan dengan contoh sebagai berikut:
a.Apabila dalam ketentuan Al Qur’an dianggap merepresentasikan norma self-evident bagi penganut agama Islam di Indonesia, maka ketentuan kitab suci harus dijadikan standar regulatif bagi setiap penyusunan  hukum  positif (buatan manusia)    yang  secara  khusus  mengatur  pola perilaku penganut agama Islam. Sebagai contoh perkawinan, kewarisan  dan  perwakafan  adalah  area  hukum non netral, yang sangat kuat mendapat pengaruh hukum Islam.   Surat Al Baqarah (234) sebagai premis normatif self evident yang di dalamnya termuat  ketentuan  masa  iddah   bagi  wanita  yang ditinggal mati suaminya.
 b.Ketika Pemerintah akan merumuskan norma hukum positif, maka premis self evident dari Al Qur’an itu dijadikan standar regulasi. Contohnya yaitu ketentuan Pasal 39, PP No.9/1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 tentang Perkawinan.

Premis Normatif 1 (self-evident) 
 Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri- isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber iddah) 4 bulan 10 hari. Kemudian apabila sudah habis iddah nya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (Al-Baqarah, 234)
Premis Normatif 2
Waktu tunggu bagi seorang janda…..ditentukan sebagai berikut: (a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu diterapkan 130 hari; (b)….(PP No 9/1975, Pasal 39)

Konklusi: Jika wanita (beragama Islam) yang ditinggal mati suaminya dibiarkan menikah lagi sebelum ia melewati masaiddah-nya selama 4 bulan 10 hari, maka terjadi perbuatan dosa (pelanggaran hukum Islam);
Ekuivalen dengan: Jika wanita (Indonesia beragama Islam) yang ditinggal mati suaminya dibiarkan menikah lagi sebelum ia melewati masa iddah-nya selama 130 hari, maka terjadi pelanggaran hukum negara.



B.Positivisme Hukum
Positivisme Hukum dalam definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, memaknainya sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-perundangan. Dari segi ontologi, pemaknaan mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme.
Hukum adalah ungkapan khendak penguasa. Kehendak ini jelas bukan sesuatu yang kosong melompong.
Berbeda dengan aliran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum hukum buat manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan yang kongkrit. Masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberikan perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan acuan adalah juga norma-norma hukum. Logikanya, norma hukum hanya mungkin diuji  dengan norma hukum.

Pola Penalaran dari Positivisme Hukum dapat diformulasikan sbb:
a.       Norma positif dalam Pasal 39 jo. Pasal 66 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) PP No.9/1975, menetapkan struktur aturan yang dalam contoh ini diasumsikan norma-norma itu telah tervalidasi.

b.      Pada suatu ketika terdapat fakta pernikahan antara janda A dan Tuan B dengan diawasi dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nilkah bernama C.
Premis Normatif 
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: (apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu diterapkan 130 hari; (b) Pasal 39 PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan pakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang (pasal 6 ayat (1) PP No.9 Tahun 1975).
Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7500 (Lih. Pasal 45 ayat (1) huruf b PP No. 9 Tahun 1975)


Fakta 
Nyonya A seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya pada 1 Januari 2003 dan ia melangsungkan perkawainan dengan B pada 1 Mei 2003. Pegawai Pencatat Nikah bernama C yang mengawasi dan mencatat perkawinan tersebut diancam sanksi kurungan.


C.Utilitarianisme
Model penalaran hukum Utilirianisme pada dasarnya berangkat dari titik tolak yang sama dengan positivisme hukum yang memaknai hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan.
Aspek Ontologis dari model Utilitarianisme tidak berbeda. Yang membedakan dengan Positivisme Hukum adalah pada gerakan top down yang kemudian diikuti dengan gerakan bottom-up. Gerakan top-down dan bottom-up ini tidak simultan, tetapi berjalan linear. Setiap peraturan yang menurut pola penalaran Positivisme Hukum adalah perintah penguasa tersebut,memerlukan waktu untuk kemudian di evaluasi dan dinilai baik buruknya. Ini berarti bahwa prinsip efficacy tidak dapat mempengaruhi prinsip validity. Suatu norma positif tetap absah, terlepas hasil evaluasinya menunjukkan aturan itu tidak membawa manfaat bagi sebagian besar masyarakat yang terikat norma tersebut.
Jika model penalaran ini dituangkan dalam putusan hakim, maka putusan tersebut tidak sekedar mengacu pada kepastian  semata, melainkan juga kemanfaatan bagi pihak-pihak terkait dalam arti luas.
Secara teoretis kepastian dan kemanfaatan tidak berada pada posisi sederajat. Inlah yang membedakannya dengan model penalaran hukum ala (American) Sosiological Jurispudence. Kepastian hukum menurut Utilitarianisme harus menjadi tujuan primer hukum, baru kemudian diikuti dengan kemanfaatan sebagai tujuan sekundernya. Sayangnya, semua konstruksi berpikir ini hanya ada di benak pengemban  hukum  itu, tidak mungkin dapat dibaca secara eksplisit oleh penstudi hukum, sehingga secara kasat mata oleh pihak eksternal si penalar, model penalaran Utilitarianisme ini sulit dibedakan dengan Sosiological Juruspudence
 Idealnya, putusan hakim yang telah diberi muatan kemanfaatan ini adalah masukan bagi para pembentuk hukum di lembaga legislatif. Utilitarianisme mensyaratkan adanya kerja sama yang baik antara lembaga peradilan dan lembaga legislatif, antara penerap dan pembentuk hukum. Setiap kasus yang dibawa ke muka hakim, dengan demikian adalah test-case terhadap segi efficacy suatu norma positif dalam sistem perundang-undangan. Sekalipun demikian, bayangan ideal ini menjadi Utopia karena Utilitarianisme membuat hakim harus setia kepada bunyi rumusan norma positif dalam sistem perundang-undangan. Ini harus dilakukan demi tujuan kepastian. Di sisi yang berbeda, apabila hakim meyakini ada ketidakmanfaatan dalam aplikasi rumusan itu untuk kasus yang dihadapinya, ia juga tidak dapat berbuat banyak karena tujuan kemanfaatan adalah sekunder baginya. Oleh sebab itu, ruang gerak hakim yan utilitarian dibatasi oleh jenis norma positifnya.
Sebagaimana dinyatakan bahwa model penalaran ini pada tahap tertentu khususnya pertimbangan kemanfaatan dimunculkan, polanya sulit dibedakan dengan Sociological Jurisprudence. Pada proposisi norma positif yang disjungtif itu,premis nondoktrinal (keyakinan hakim pada fakta empiris)-nya sangat menentukan putusan akhir sang hakim. Jika premis non-doktrinalnya mendukung atau sejalan dengan kebijakan premis normatif, maka putusan hakim akan membatalkan putusan. Sebaliknya jika ia tidak mendukung premis normatif,hakim dapat membatalkan atau tidak membatalkannya (peluang sama besar).
Karena basis Utilitarinisme ini sama dengan Positivisme Hukum. Maka model penalaran ini dapat dianggap sebagai modifikasi dari Legisme, yaitu Positivisme Hukum yang paling konservatif. Model penalaran ini bahkan bisa dianggap sebagai “penyusup sosiologi” lewat pintu belakang positivisme hukum, oleh karena itu tidakheran bahwa model ini dapat diterima dengan baik dikawasan keluarga sistem common law, maupun civil law,dengan tokoh yang mendukung seperti Bentham (1748-1832), Rudolf van lhering (1818-1892), dan Holmes (1841-1935).

Contoh: Pola penalaran model berfikir Utilitarianisme
Jika terjadi perkawinan dalam masa iddah maka Pengadilan Agama membatalkan perkawinan itu……atau, Jika terjadi perkawinan dalam masa iddah maka Pengadilan tidak membatalkan perkawinan itu……..sehingga, Perkawinan A dan B terjadi pada masa iddah. Pengadilan membatalkan perkawinan itu……atau Pengadilan tidak membatalkan perkawinan itu.

D.      Mazhab Sejarah
Pola penalaran yang dikembangkan oleh mazhab sejarah pada dasarnya tidak melewati langkah-langkah yang sitematis. Itulah sebabnya, model penalaran sangat alami, bukan sesuatu yang didesain khusus, konsisten dengan jargon aliran berfikir ini bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh bersama dengan masyarakat.
Aspek ontologis dari mazhab sejarah menekankan bahwa hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan. Lalu ditinjau dari aspek aksiologis, model penalaran hukum mazhab sejarah menggabungkan sekaligus antara kemanfaatan dan keadilan.
Pola Panalaran Madzhab Sejarah :
A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah. Menurut kebiasaan, perkawinan yang tidak dijalankan menurut hukum agama adalah tidak sah (dalam perspektif sosial).
Menurut nilai-nilai terinternalisasi yang diyakini volksgeist, kebiasaan yang tidak sejalan dengan ajaran agama, tidak sah untuk tetap dipertahankan keberadaannya (dalam perspektif sosial).
Perkawinan yang tidak dijalankan menurut kebiasaan dan agama adalah tidak sah(dalam perspektf sosial).
A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan ajaran agama. Perkawinan A dan B adalah tidak sah (dalam perspektif sosial)

E.       American Sociologi Jurisprudence
Sociological Jurisprudence merupakan model penalaran yang lahir dalam hukum Anglo-Amerika. Karakteristik dari sistem Amerika adalah berakar dari sistem common law, yang mengidentifikasi hukum sebagai putusan hakim in-concreto. Hukum adalahjugde made law.
Pola penalaran yang digunakan hakim dalam menyelesaikan kasus- kasus konkret dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus secara bersamaan, yakni pola bottom up yang nondoktrinal induktif dan pola top-down yang doktrinal-deduktif.Sociological Jurisprudence merupakan sintesis dari dua aliran filsafat hukum, yaitu Positivisme Hukum dan Madzhab Sejarah. positivisme Hukum merupakan tesis, sementara Madzhab Sejarah sebagai antitesis.

Model Penalaran Sociological Jurisprudence:
·         A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah.
·         Menurut kebiasaan, perkawinan yang dilangsungkan dalam masa iddah adalah tidak sah.
·         Menurut norma positif, jika terjadi perkawinan dalam masa iddah maka Pengadilan membatalkan perkawinan itu….atau Menurut norma positif, jika terjadi perkawinan dalam masa iddah maka Pengadilan Agama tidak membatalkan perkawinanitu.
·         A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan norma positif.
·         Pengadilan Agama membatalkan perkawinan A dan B.

F.       Realisme Hukum
Realisme hukum, apa bila di persentasikan sebagai penalaran dapat dianggap sebagai model yang mengambil posisi paling bertolak belakang dengan positivisme hukum. Ketidak percayaan  kaum realis terhadap norma hukum positif berpuncak pada ketidak percayaan mereka pada konsep the rule of law.
Ada dua versi Realisme Hukum:
1.      Realisme Amerika
Memberi perhatian pada perilaku (behavior orienation)
2.      Realisme Skandinavia
Lebih mempersoalkan landasan metafisis hukum dengan titik berat pada keseluruhan sistem hukum, bukan sekedar perilaku pengadilan

Aspek epistemologis dari Realsime Hukum adalah fakta konkret secara mutlak. Banyak kalangan menilai, bahwa cara berpikir Realisme Hukum adalah sangan spekulatif jika ia ingin mengatasi ketidakpercayaannya pada the rule of the law melalui pemberian kebebasan demikian besar pada hakim.
Model Penalaran Realisme Hukum
·         Pengadilan Agama 1 membatalkan perkawinan antara A dan B yang dilangsungkan dalam masa iddah.
·         Pengadilan Agama 2 tidak membatalkan perkawinan antara C dan D yang dilangsungkan dalam masa iddah.
·         Perkawinan antara E dan F dilangsungkan dalam masa iddah.

·         Pengadilan Agama 3 membatalkan perkawinan E dan F. Atau…. Pengadilan Agama 3 tidak membatalkan perkawinan E dan F. Atau..

·         Pengadilan agama 3 menyatakan dirinya tidak berwenang mendaili kasus tersebut

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PT  MARIMAS TERHADAP KETENTUAN DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM FENOMENA OJEK ONLINE