ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM NO. 150, 590, 1055 DAN 1074/Pid.B/2007 PENGADILAN NEGERI SEMARANG TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

      Dalam melakukan pemidanaan, terdapat beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh hakim sebelum sampai kepada putusannya. Pertimbangan hakim terbagi menjadi dua, yaitu pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis berupa dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal yang mengaturnya. Kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis, berupa alasan pemberat (di luar KUHP, khususnya dalam Putusan No. 1074 merupakan recidive yang di atur dalam KUHP), alasan peringan (di luar KUHP), motif dan status sosial terdakwa. Putusan hakim dengan No. 150 dan 590/ Pid. B/ 2007 PN. Smg., melihat pertimbangan alasan pemberat dan peringan bagi terdakwa, terkandung secara implisit filosofi penjatuhan pidana yang tiada lain merupakan tujuan dari pemidanaan yaitu pertama, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna dan yang kedua, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan di atas, dirumuskan dalam Konsep KUHP 2005 berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat guna melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini diklasifikasikan oleh Helbert L. Paker yang dikutip Zainal Abidin dengan pandangan utilitarian yang selalu berorientasi ke depan (forwardlooking). 
       Menurut pemikiran Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing sebagaimana disadur oleh Muladi, yang dimaksud dengan disparitas pidana10 adalah “the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or comparable seriousness, without a clearly visible justification”, yang artinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar pembenaran yang jelas.             Disamping itu menurut Jackson yang dikutip oleh Muladi, maka tanpa merujuk legal category (kategori hukum), disparitas pidana dapat terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang melakukan bersama suatu tindak pidana.
Dalam putusan hakim dengan No. 1055/ Pid. B/ 2007 PN. Smg., yang ternyata perbuatan terdakwa masuk dalam klasifikasi recidive atau pengulangan tindak pidana. Hal ini dapat terjadi manakala seseorang melakukan suatu delik dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan yang in krach van gewijsde, kemudian melakukan suatu delik lagi, yaitu dari terdakwa Sugeng Santoso dan Imam Taufik. Menurut teori pemidanaan, recidive merupakan alasan untuk memperberat pemidanaan. Sistem pemberatan pidana di atas dengan jenis recidive khusus terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam “kelompok jenis” diatur dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Yang dimaksud dengan kelompok jenis adalah bahwa kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu.
     Perbuatan terdakwa I Sugeng Santoso dan terdakwa II Imam Taufik merupakan kelompok jenis kejahatan mengenai kejahatan terhadap harta benda, terdakwa I pernah melakukan delik “pencurian dengan kekerasan” sedangkan terdakwa II juga melakukan delik “pencurian biasa”. Dalam hal ini hakim menjatuhkan pidana bersandar kepada teori pencegahan khusus untuk ditujukan kepada si pelaku delik yang mempunyaisifat “membuatnya menjadi tidak berdaya”. Sebab dalam hal pemberatannya, ternyata terdakwa sebelumnya pernah di hukum yang itu tidak menimbulkan efek jera, lagi pula meresahkan masyarakat. Para terdakwa sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Maka pidana yang dijatuhkan terhadapnya bersifat membinasakan atau membuatnya tidak berdaya. 
     Kemudian dalam putusan No. 1074 / Pid.B / 2007 / PN.Smg., dengan memerhatikan ratio decidendi, yaitu alasan yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya, diantaranya berupa pertimbangan yang memberatkan dan meringankan para terdakwa secara implisit mempunyai tujuan pemidanaan, yang merupakan filosofi dari penjatuhan pidana (philosophy of sentencing). Filosofi hakim tersebut adalah untuk memperbaiki, merawat atau mengobati terpidana saat menjalani pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat perlu adanya keseimbangan nilai yang terjamin untuk memulihkan konflik dari perbuatan kejahatan, terutama tindakpidana pencurian tersebut.
   Pemberatan pidana bagi pelaku pencurian biasa (pasal 362 KUHP) dapat juga terjadi manakala memenuhi unsur-unsur yang ada dalam pasal 363 (1) 1e, 2e, 3e dan 4e KUHP. Misalnya obyeknya adalah ternak; atau dilakukan dalam keadaan terjadi bencana alam seperti kebakaran, letusan, banjir dan sebagainya; atau dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah; atau dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih; ataupun dilakukan dengan jalan membongkar, memanjat dan sebagainya. Dalam hal ini maksimum pidana dinaikkan dari lima tahun menjadi tujuh tahun penjara. Kalau pencurian pada waktu dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup (pasal 363 ayat 1 ke 3e KUHP) disertai lagi dengan salah satu hal yang disebut dalam ayat 1 ke 4e dan 5e, maka maksimum pidananya dinaikkan menjadi sembilan tahun, yakni yang terdapat dalam pasal 363 ayat 2 KUHP.
   Secara teoritis, semua delik yang dimaksud di dalam pasal 363 (1) ke 1e, 2e, 3e, 4e dan 5e serta ayat 2 merupakan delik yang berdiri sendiri. Jadi penuntut umum harus mendakwakan berupa dakwaan komulatif karena terjadi perbarengan perbuatan (concursus realis) yang menurut pasal 65 KUHP berbunyi: Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana, ayat 2 : Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
       Berdasarkan unsur-unsur pidana dalam beberapa putusan di Pengadilan Negeri Semarang atas delik pencurian dengan pemberatan, perbuatan terdakwa tidak masuk dalam rumusan point ke-2 pasal 363 (1) KUHP. Maka ketentuan tentang concursus realis tidak lagi diterapkan. 
Pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan tersebut, Adami Chazawi menyebutnya sebagai dasar pemberatan pidana khusus. Maksudnya ialah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau di atas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, hal sebab diperberatnya mana dicantumkan secara tegas dalam dan mengenai tindak pidana pencurian dengan kualifikasi pemberatan tersebut. Lalu jika dilihat dari berat ringannya ancaman pidana, tindak pidana pencurian dengan pemberatan ini masuk dalam jenis / kualifikasi yang diperberat. Sedangkan cirinya ialah harus memuat semua unsur yang ada pada bentuk pokoknya ditambah lagi satu atau lebih dari unsur khusus yang bersifat memberatkan.
       Bervariasinya putusan pemidanaan oleh hakim antara putusan yang satu dengan lainnya, yaitu putusan No. 150, 590, 1055 dan 1074/Pid.B/2007/PN. Semarang kepada masing-masing terdakwa dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan (kualifikasi) merupakan disparitas pidana, karena hakim kurang memerhatikan landasan, kriteria dan ukuran yang sama diantara para pelaku dalam tindak pidana yang sama, yang dapat menyebabkan ketidakadilan atas terpidana setelah membandingkan dengan terpidana yang lainnya dalam jenis perkara yang sama dan nantinya akan menjadikan terpidana itu sikap anti rehabilitasi dan demoralisasi di Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan. 
   Dari empat putusan tersebut, maka penyebab dari adanya disparitas pemidanaan pada perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah pertama, secara umum dilihat dari aspek yuridis bahwa undang-undang (KUHP) secara umum mengandung sistem perumusan indefinite, artinya tidak ditentukan secara pasti. Dalam pasal 363 ayat (1) KUHP dikatakan “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.........”. Dari sini pembuat undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk memilih rentang waktu antara minimal satu hari sampai dengan maksimal tujuh tahun penjara; kedua, pelakunya berbeda-beda, ada yang berperan sebagai pleger (pelaku utama), doenpleger (orang yang menyuruhlakukan), medepleger (orang yang turut serta) dan uitlokker (penganjur); ketiga, barang yang diambil bervariasi mulai dari barang dengan tingkat harga terendah sampai yang tertinggi; keempat, cara melakukan pencurian berbeda-beda. Ada yang dengan memanjat pagar besi atau naik pada lubang angin (jendela) samping rumah, merusak dengan memecah kaca jendela atau yang lain, mencongkel jendela dengan memakai anak kunci palsu yaitu besi leter L dan obeng; dan kelima, motif melakukan pencurian bervariasi, ada yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, dimiliki secara pribadi dan dijual lalu dibelikan makanan dan minuman. Selain itu juga terdapat faktor pemberatan dan peringanan pidana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PT  MARIMAS TERHADAP KETENTUAN DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM FENOMENA OJEK ONLINE