ANALISIS PUTUSAN NOMOR 4/pdt. P/2013/PA. Bdg

Putusan nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg adalah perkara yang bersifat insidental, maka menurut Majelis Hakim, Hakim dapat keluar dari ketentuan aturan tersebut. Hal ini karena Hakim menggali perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. 
Menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan. Sitem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non Islam, terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah. Namun demikian, menurut hukum waris Islam, ahli waris yang beragama non Islam tidak dapat menjadi ahli waris dan hanya memperoleh harta waris melalui wasiat wajibah.
Kedudukan ahli waris beda agama belum diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam, dan juga dalam praktek masih tidak ada kesamaan Hakim dalam mempertimbangkan permohonan pembagian ahli waris beda agama, tetapi setidak-tidaknya ahli waris beda agama tetap memperoleh harta waris dengan melalui wasiat wajibah, maka asas keadilan dan kemanfaatan dapat terwujud di dalam hukum waris beda agama agama tetap dapat menerima harta waris dengan melaui wasiat wajibah sebagaimana dalam penetapan Pengadilan Agama Badung No 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan hal ini sesuai Yurisprudensi MA No 51/K/AG/1999.
 Berdasarkan perkara dan putusan di atas, terlihat Hakim tidak menggunakan pemikiran berdasarkan Positivisme yang beranggapan bahwa hukum hanya mempelajari norma-norma positif maka ajaran ini tidak mempermasalahkan adil atau tidak ada implikasi sosiologisnya. Dalam Positivisme ini hakim dalam memutus suatu perkara dengan menggunakan close logical system. Putusan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg di sini menggunakan pendekatan Sociological Jurisprudence.
Adapun pemikiran Sociological Jurisprudence yang dipakai hakim sebagai penalaran dalam pembuatan putusan ini adalah pemikiran Social Jurisprudence milik Roscoe Pound. 
Dalam Teori Kepentingan, Pound memiliki pendapat bahwa hukum adalah kepentingan-kepentingan yang mana kepentingan tersebut sejatinya harus dilindungi oleh hukum. Salah satu bentuk kepentingan di sini merupakan kepentingan individual yang kemudian disamakan dengan Hukum Perdata (Private Law).
Pound mengibaratkan konsep ini dengan membuat para ahli hukum layaknya seorang insinyur. Jadi, ketika seorang ahli hukum ini hendak membangun sebuah bangunan (dalam hal ini dimaksudkan putusan), maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat suatu perencanaan yang matang. Setelahnya, dikumpulkan pula material-material mengenai hal terkait sebelum akhirnya melakukan penyesuaian berdasarkan pertimbangan akan fakta di lapangan. Pengibaratan ini pada akhirnya menunjukan bahwa ahli hukum haruslah menghasilkan hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Apabila menghubungkan konsep Social Engineering dengan Putusan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, hal tersebut dapat terlihat di salah satu pertimbangan Majelis Hakim yang terdapat di dalamnya. Pertimbangan tersebut berisi bahwasannya memang benar ibu dari para pemohon keluar dari Islam lalu memeluk agama lain hingga beliau meninggal dunia. Namun, kerabat dekat dari mendiang ibu para pemohon tetap memeluk agama Islam sehingga membuat kerabat tersebut tetap menjadi ahli waris. 
Atas pertimbangan di atas, sudah terlihat bahwa sebelum memutus perkara hak waris tersebut, Majelis Hakim terlebih dahulu mengutamakan fakta yang terdapat di lapangan. Yakni, fakta yang mengatakan bahwa mendiang ibu para pemohon pernah beragama Islam sebelum akhirnya memeluk agama lain hingga meninggal dunia. Fakta di sini lalu dijadikan salah satu landasan bagi hakim untuk tidak mengikuti Kompilasi Hukum Islam (KHI), tepatnya Pasal 171 huruf c yang secara secara eksplisit menjelaskan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) menganut sistem persamaan agama, yaitu agama Islam untuk dapat saling mewarisi.
Penerapan hukum dalam pelaksanaan pembagian harta warisan terhadap ahli waris beda agama pada perkawinan campuran maupun perkawinan seagama, mengenai perkara penyelesaian kewarisan beda agama, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya lembaga peradilan didasarkan dengan hukum yang berlaku pada waktu semasa hidup pewaris. Menurut hukum waris barat, ahli waris beda agama tidak menjadi penghalang untuk menjadi ahli waris sedangkan hukum waris islam, ahli waris beda agama menjadi penghalang untuk menjadi ahli waris. Namun demikian, ahli waris beda agama tetap dapat menerima harta waris dengan melaui wasiat wajibah sebagaimana dalam penetapan Pengadilan Agama Badung No 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan hal ini sesuai Yurisprudensi MA No 51/K/AG/1999.
Seperti kita ketahui, dalam memutus suatu perkara hakim tidak bisa hanya mengandalakn peraturan undang-undang, hakim harus menggali hukum untuk memperoleh suatu keadilan. Hakim bukanlah corong Undang-undang, melainkan corong kedilan, karena keadilan belum tentu didapatkan di dalam Undang-undang.
Akibat hukum pada penyelesaian kewarisan beda agama dalam pelaksanaannya menimbulkan penafsiran Hakim yang berbeda dalam mempertimbangkan hukum dalam amar putusan, serta menimbulkan ketidak pastian hukum, baik dalam proses pelaksanaannya maupun status hukum bagi ahli waris beda agama, hal ini dikarenakan belum adanya aturan hukum yang pasti, yang dalam prakteknya Hakim disamping merujuk yurisprudensi Mahkamah Agung juga Hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum terkait kasus konkrit yang ditanganinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PT  MARIMAS TERHADAP KETENTUAN DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM FENOMENA OJEK ONLINE