ANALISIS PUTUSAN

Lewat putusan No. 558 K/Ag/2017, Mahkamah Agung mengangkat suatu kaidah hukum penting mengenai keadilan dalam perwasiatan. Dimana fakta kasus diatas menyatakan seorang Ayah yang ingin mewasiatkan pengelolaan harta kepada anak-anaknya, maka ia perlu mempertimbangkan keadilan. Jika wasiat itu hanya diberikan kepada satu orang anak, dan anak yang lain tidak disinggung, bisa jadi anak yang disebut terakhir tidak terima. Mahkamah Agung menegaskan wasiat terhadap sebagian ahli waris tanpa ada persetujuan ahli waris lainnya dapat dimohonkan pembatalan oleh ahli waris yang tak dimintai persetujuan tadi.

Merujuk  Pasal 195 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), majelis kasasi yang memutus perkara ini menyatakan wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan dan wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, kecuali semua ahli waris menyetujuinya. Pertimbangan MA ini disandarkan kepada hukum Islam tentang hibah, wasiat, wakaf.

Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau Notaris secara  lisan atau tertulis.  Wasiat pun tetap tidak  melebihi dari sepertiga harta  peninggalan.  Berkenaan  dengan  wasiat  kepada  ahli  waris,  maka  dianggap  sah bila  telah  disetujui  oleh  semua  ahli  waris. Persetujuan  dari  ahli  waris  dimaksudkan untuk  menghindari  terjadinyahal-hal  yang  tidak  diinginkan.
Pada tingkat pengadilan pertama, Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru telah menjatuhkan Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr. tanggal 20 Maret 2017 Masehi bertepatan dengan tanggal 21 Jumadilakhir 1438 Hijriah, dengan amar sebagai berikut: 
Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard); 
Menghukum Penggugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini.
Dalam tingkat banding atas permohonan Para Penggugat, putusan Pengadilan Agama Pekanbaru tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru dengan Putusan Nomor 0027/Pdt.G/2017/PTA.Pbr. tanggal 23 Mei 2017 Masehi bertepatan dengan tanggal 26 Syakban 1438 Hijriah;
Majelis Hakim tingkat banding berpendapat, bahwa Pembanding bukanlah orang yang mempunyai hak dan berkepentingan (persona standi in judicio), oleh karenanya gugatan pembatalan surat hibah yang diajukan oleh Penggugat/Pembanding melalui kuasa hukumnya harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Bahwa pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru tersebut di atas salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Salah satu yang dipersoalkan penggugat, sebagaimana tertera dalam salinan putusan, adalah pengelolaan Yayasan. Menurut penggugat, tindakan pengelolaan bukan merupakan wujud kebendaan yang bisa dinilai batas maksimalnya. Wasiat berupa harta benda milik pewasiat (vide Pasal 194 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam), yaitu unsur benda yang dapat diberi nilai batas maksimalnya, yaitu 1/3 (sepertiga) dari jumlah harta benda milik Pewasiat. Sedangkan mengelola atau memanage tidak termasuk unsur benda, dengan demikian surat wasiat ini bukan wasiat menurut hukum, karenanya tidak dapat dibenarkan, dalil penggugat. Pasal 195 KHI menegaskan pula, wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali jika semua ahli waris menyetujuinya.

Pada  tingkat kasasi kasus diatas  hakim Mahkamah Agung . Dapat ditafsirkan bahwa hakim MA lebih patuh pada aliran Positivisme (Hukum Positif) dimana keputusan diambil berdasarkan aturan hukum pertama, yaitu hukum yang Merujuk pada  Pasal 195 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), karena untuk gerakan positivisme tidak ada hukum di luar hukum, jadi begitu harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah hukum (legalisme). Positivisme mengerti jika masalah yang terjadi di masyarakat hanya bisa diatur oleh UU sehingga jika ada masalah baru terjadi di masyarakat harus segera direspon untuk dijadikan UU.
 
Dalam teori positivisme hukum dari Hans Kelsen, memandang bahwa hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia (law is a coercive order of human behavior) Untuk itu terhadap kasus ini hakim Mahkamah agung mencabut keputusan hakim di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama sebelumnya, dan menetapkan putusan baru yaitu menerima kasasi yang diajukan oleh Ita dan Dara terhadap keputusan surat wasiat yang menyatakan melebihi dari 1/3 harta warisan Ayah mereka (Tuan Rusli) yang diberikan  hanya kepada Sari, dan tanpa meminta persetujuan sebelumnya kepada Dara dan Ita itu ditolak karena tidak sesuai dan telah melanggar Pasal 195 ayat (1) dan Pasal 195 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, yang berarti melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku, oleh karenanya surat tanggal 8 Januari 2009, haruslah dibatalkan atau dinyatakan tidak sah dan tidak berharga atau sekurang-kurangnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Majelis kasasi menyatakan secara materiil, surat wasiat yang dikeluarkan oleh pewasiat tidak sejalan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, kekayaan orang tua memiliki tiga fungsi, yaitu untuk kepentingan nafkah keluarga; untuk kepentingan keluarga; dan untuk kepentingan anak yang ditinggal ketika yang bersangkutan meninggal dunia.

Dalam rangka kepentingan memberikan jaminan kepastian hukum, Positivisme Hukum mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulasinya dan mengindentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Hanya dengan mengindentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan kepastian hukum akan diperoleh karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya Pemikiran ini mengimplikasikan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, melainkan karena telah ditetapkan oleh penguasa yang sah.

Kemudian selain merujuk kepada aliran positivime hukum menurut saya dalam mempertimbangkan kasus tersebut hakim juga menggunakan aliran utilitarianisme, dimana Utilitarianisme itu berasal dari kata latin yaitu Utilitis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). 
Menurut Bentham, pada dasarnya setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat : ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure). Menurut kodratnya, manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Oleh karena kebahagiaan merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
Menurut Bentham, prinsip utilitarianisme ini harus diterapkan secara kuantitatif. Karena kualitas kesenangan selalu sama, maka satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya. Dengan demikian, bukan hanya the greatest number yang dapat diperhitungkan, akan tetapi the greatest happiness juga dapat diperhitungkan.
Bentham berpendapat bahwa ada satu prinsip moral yang utama, yakni prinsip utilitas. Prinsip ini menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara tindakantindakan alternatif atau kebijakan sosial, kita mengambil satu pilihan yang memiliki konsekuensi yang secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya
  Menurut Utilitarianisme ini tujuan dari hukum adalah menciptakan kebahagiaan atau kemanfaatan dimana dalam kasus ini lebih mengarah kepada keadilan dalam pembagian harta warisan keluarga untuk menghindari yang namanya kesusahan atau konflik yang nantinya akan timbul dalam keluarga tersebut. Lewat putusan No. 558 K/Ag/2017, Mahkamah Agung mengangkat suatu kaidah hukum penting mengenai keadilan dalam perwasiatan. Dimana keadilan ini nantinya akan mendatangkan kemanfaatan atau kebahagiaan bagi keluarga baik pihak tergugat maupun pihak penggugat. Karena menurut Utilitarianisme Kebaikan yang dimaksud adalah identik dengan kesenangan danke­burukan itu diidentikkan dengan penderitaan sebagai penggantidari adil dan tidak adil, susila dan asusila, baik dan jahat.
Tujuan Hukum adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya pada jumlah yang sebanyak-banyaknya, tetapi harusdisesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam rangkamenghindari agar tidak terjadi penindasan terhadap individu dari individu lain, harus ada jalan keluarnya, yakni antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat harus dijembatani atau diselaraskan dengan perasaan simpati. Dengan mengedepankan simpati itu tentu ada keyakinan bahwa setiap orang yang mementingkan dirinya sendiri, maka kebahagiaan umum dengan sendirinya akan terwujud pula (the greatest happiness for the greatest number).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PT  MARIMAS TERHADAP KETENTUAN DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM FENOMENA OJEK ONLINE