BAB IV PENALARAN HUKUM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN


1. Sejarah dan Sejarah Hukum
Dalam penalaran hukum, aspek sejarah biasanya diperlukan untuk memberi konteks kepada suatu rumusan peraturan. Setiap ketentuan hukum, apapun bentuknya, adalah karya manusia yang terikat pada ruang dan waktu. Konteks "ruang dan waktu" ini pada model penalaran Aliran Hukum Kodrat ingin diabaika, sehingga hukum adalah asas-asas keadilan dan kebenaran yang berlaku universal.
Model penalaran Mazhab Sejarah sebaliknya, sangat memperhatikan konteks ruang dan waktu dalam pertumbuhan hukum. Bagi penganut model penalaran ini, hukum tidaklah dibuat, melainkan tumbuh mengikuti perkembangan masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke)
Penulisan sejarah hukum dan sejarah undang-undang di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Apa yang dilakukan oleh Soepomo dan Djokosoetono yang menulis tentang sejarah politik hukum adat di Indonesia adalah contoh karya di bidang sejarah hukum untuk kategori penulis Indonesia. Sementara untuk sejarah undang-undang adalah seperti yang dilakukan Boedi Harsono.
Pemanfaatan penelitian sejarah hukum untuk keperluan pengembanan hukum praktis, khususnya dalam rangka pembentukan undang-undang biasanya hanya merambah ranah-ranah hukum non netral, seperti perkawinan, kewarisan, zakat dan wakaf. Padahal, ranah hukim netral pun dapat memanfaatkan buah penelitian sejarah.

2. Sosiologi dan Sosiologi Hukum 
Sosiologi adalah ilmu yang sangat muda. Auguste Comte (1798-1857) yang dianggap sebagai perintis pertamanya dengan memperkenalkan dua bagian pokok sosiologi, yakni "social statistic" dan "social dynamies". Yang pertama merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara pranata-pranata sosial, sementara yang terakhir meneropong bagaimana pranata-pranata tersebut berkembang sepanjang zaman, yang oleh Comte dibagi menjadi tiga tahap (teologis, metafisis, dan positif). Menurut Bruggink, pengkajian sosiologi hukum dapat bertolak pada aliran (stroming) yang disebut sosiologi hukum empiris dan sosiologi hukum kontemplatif.
Aliran pertama berangkat dari titik berdiri eksternal (berdiri diluar masyarakat) dan mengacu pada teori kebenaran korespondensi, mengkompilasi dan menata material objek telaahnya (perilaku orang atau kelompok orang) untuk kemudian dengan metode kuantitatif ditarik kesimpulan-kesimpulan tentang hubungan antara norma hukum dan kenyataan sosia. Metode yang digunakan mendekati metode metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam untuk menghasilkan produk penelitian yang seobjektif mungkin, sehingga mampu menciptakan gambaran setepat mungkin tentang kenyataan kemasyarakatan yang didalamnya berfungsi aturan hukum positif.
Sebaliknya, sosiologi hukum kontemplatif menganut pendirian bahwa si penstudi hukum harus menjadi bagian dari masyarakat yang dikajinya (posisi internal). Jenis sosiologi ini mengacu pada teori kebenaran pragmatis. Tidak seperti sosiologi hukum empiris yang hanya dituangkan dalam proposisi informatif, maka dalam sosiologi hukum kontemplatif proposisinya dapat bersifar informatif, normatif, dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan produknya dikaji melaluk diskursus intersubjektif. Penelitian empiris dalam kerangka perspektif eksternal tetap dipandang penting dalam sosiologi hukum kontemplatif, namun ia merupakan suatu momen saja dari keseluruhan kegiatan penelitian tersebut.

3. Antropologi dan Antropologi Hukum
Sosiologi dan antropologi adalah dua disiplin yang berdekatan. Jika sosiologi memotret kenyataan sosial dewasa ini pada masyarakat modern, sebaliknya antropologi memotret hal serupa untuk masyarakat tradisional (bersahaja).
Antropologi hukum adalah cabang dari antropologi budaya. Antropologi budaya mencakup dua subdisiplin, yaitu etnografi (deskripsi tentang manusia) dan etnologi ( analisis tentang masyarakat). Antropologi hukum ini adalah pengembangan dari apa yang dulu disebut etnologi hukum. Antropologi hukum merupakan disiplin yang relatif masih muda usianya. Pada awal perkembangannya, antropologi hukum dirintis oleh para ilmuwan yang memang berlatar belakang hukum, seperti Bachofen, McLennan, Mainc, dan Morgan, yang semuanya memberi andil penting dalam pengkajian antropologi pada umumnya. Kajian antropologi ini didukung dari ahli-ahli hukum Mazhab Sejarah, ahli perbandingan hukum, sosiologi hukum, dan ahli-ahli hukum adat.
Dalam kacamata antropologi, hukum tidak pernah dicerna sebagai hukum negara. Hukum bermakna plural, yakni hukum seabgaimama tercermin dari persepsi yang hidup di masyarakat. Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang multietnik, pengkajian antropologi akan memberi manfaat yang besar bagi penalaran hukum. Pola penalaran yang digunakan oleh penstudi hukum disiplin antropologi dan antropologi hukum memiliki kekhasan karena memaknai hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi diantara mereka.

4) Psikologi dan psikologi hukum

Psikologi sebagai ilmu mandiri baru diterima luas pada Abad ke- 19, antara lain berkat jasa ahli psikologi Wilhelm Wundt (1832-1920) yang berhasil mendirikan laboratorium psikologi pertama di Leipzig, Jerman. Objek telaah psikologi sangat beraneka ragam sehingga sampai sekarang tetap ada pendapat yang meragukan psikologi sebagai ilmu yang lengkap. Secara sederhana psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari proses perilaku dan mental. Bidang-bidangnya sangat luas, misalnya psikologi klinis, penyuluhan, eksperimental, sekolah, pendidikan, sosial, kepribadian, masyarakat, dan rekayasa.
Psikologi dan psikiatri memberi andil yang besar bagi penalaran hukum. Jika psikologi dan psikiatri menelaah kesadaran dan sikap tindak manusia, maka ilmu hukum menyoroti aturan tentang kesadaran dan sikap tindak yang serasi dengan patokan yang telah ditetapkan oleh masyarakat dan negara. Hanya orang yang keadaan mentalnya sehat yang dapat melakukan kegiatan penalaran hukum, sekaligus yang dapat dipersalah dan dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum. Meuwissen menyebutkan tiga sesi sumbangan psikologi terhadap hukum. Pertama, dari sudut psikonalisis(Freud dan pengikutnya) gejala-gejala hukum dan negara dapat diinterpretasi menurut cara ini. Kedua, psikologi humanistik yang antara lain menelaah kesadaran hukum dan perasaan hukum. Ketiga, psikologi perilaku (empiris) untuk mengamati tingkah laku manusia dengan pertolongan model penjelasan kasual yang dipahami dari sudut konstelasi tertentu. Hasil pekerjaan para ahli psikologi hukum, dengan demikian, merupakan hasil studi yang diperhatikan terutama oleh model penalaran Realisme Hukum.

5. ilmu Politik dan Politik Hukum

Logemann menyatakan dalam bukunya ilmu politik harus dibedakan dengan politik. Politik merupakan perbuatan memilih pihak tertentu untuk tujuan-tujuan sosial tertentu yang dianggap bernilai, dan pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Ilmu politik meneliti bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan sosial dan sarana yang dapat digunakan.
Ilmu politik sebagai suatu cabang dari ilmu-ilmu sosial baru lahir pada akhkr Abad ke- 19. Akan tetapi, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politim dapat dikatakan jauh lebih tua umurnya. Pada tarif perkembangan itu, ia bersandar pada sejarah dan filsafat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PT  MARIMAS TERHADAP KETENTUAN DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM FENOMENA OJEK ONLINE