KITA BERBENTURAN DENGAN KORUPSI HAMPIR TIAP KALI, TIAP HARI


Tak jauh dari rumah, setelah kita makan pagi dan berangkat kerja, kita akan menemukan jalanan yang rusak, diperbaiki dan rusak lagi,  rusak dan diperbaiki lagi, dan kita diingatkan, ada orang di pemerintahan kota yang tak berniat membuat ruas-ruas jalan yang tahan lama, sebab tiap pembangunan, tiap perbaikan, ada uang sogok yang diharap dari perusahaan konstruksi. Kita akan mendengarkan knalpot motor memekik-mekik dan mobil-mobil memacetkan jalan, dan kita akan diingatkan, ada kolusi bertahun-tahun antara industri otomotif dan penguasa yang tak mendahulukan transportasi umum. Di tempat kita kerja, kita akan harus berurusan dengan surat izin, petugas pajak, polisi, hansip, SIM, KTP..... 
Dampak terburuk dari korupsi yang menyebar seperti di Indonesia sejak berpuluh tahun bukanlah bocornya kas negara-hal yang biasanya dikhawatirkan ketika orang berbicara tentang korupsi. Tentu saja korupsi juga bisa berarti pencurian uang milik publik. Korupsi besar dalam kasus e-KTP adalah contohnya. Tapi ada yang tak kalah jahat dan malah lebih destruktif meskipun tak segera kentara, yaitu rusaknya modal sosial. 
Modal sosial adalah jalinan saling percaya di masyarakat, pertalian yang sama kuatnya, bahkan lebih kuat, ketimbang yang ditentukan hukum. Ia sumber sangat penting bagi sebuah masyarakat atau sebuah negeri, untuk berkembang, maju, dan survive. 
Ketika saling percaya ini digantikan dengan hubungan yang kalkulatif, modal sosial tak bisa berfungsi lagi. Sebuah perguruan tinggi yang meluluskan dokter medis karena rektornya menerima suap, akan memproduksi ketidakpercayaan kepada pendidikan dokter dan kepada profesi itu. Seorang hakim yang mengatur vonisnya karena ia disogok, akan mendorong masyarakat untuk tak yakin bahwa keadilan itu mungkin. Seorang muda yang berniat jadi polisi tahu cita-citanya bukanlah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan, melainkan, jika ia jadi kapolres, sangat mudah mengumpulkan uang suap. Orang masuk partai politik dicurigai tidak untuk memperkuat demokrasi, melainkan mendapatkan keuntungan dalam bentuk uang, dan seperti kita saksikan di DPR periode ini,  kecurigaan itu dikukuhkan. 
Korupsi, dengan kata lain, adalah pencemaran sosial, sangat beracun. Tanpa penangkal, polusi itu akan berangsur-angsur melumpuhkan proses kerja sama sosial politik, menghentikan efektivitas administrasi publik, dan menggerogoti sebuah negara. 
Itu sebabnya, ditahun 1940-an, Tiongkok di bawah rezim Kuomintang cepat runtuh ketika gerakan komunis di bawah Mao Zedong mendesak. Tentaranya tak dapat dipercaya, para penguasa lokalnya tak bisa menggerakkan partisipasi. Partai yang dipimpin Chiang Kai-shek jadi saluran yang jorok bagi komunikasi dengan rakyat- sementara partai komunis, yang belum berkuasa masih tampak lebih bersih dan lebih menjamin kepastian. 
Di contoh itu, kita juga lihat rusaknya rasa bersama dalam keadilan; si korup bisa menguasai dana dan kemudian kuasa, sementara yang lain tidak. Juga goyah dan punahnya kepastian dalam keputusan politik dan hukum. 
Ada yang mengatakan Indonesia menjadi negara yang lembek karena nilai-nilai bangsa ini. Tetapi nilai-nilai sebuah bangsa sebagaimana bangsa itu sendiri adalah sebuah proses, bukan sebuah substansi. Dalam zaman ketika Max Havelaar ditulis, Bupati Lebak tak menganggap praktik pundhutan, atau menerima upeti sebagai korupsi, atau suap, atau pemerasan, termasuk persembahan tenaga dari rakyat untuk pesta dan perayaan keluarganya. Di zaman setelah itu, semenjak feodalisme dan kolonialisme dirobohkan, hak-hak istimewa turun temurun dianggap tak adil. Upeti dan pemerasan dianggap dosa oleh elan revolusi dan bangunan sosial yang melembagakan dosa itu ditebas seperti dalam revolusi sosial di Sumatera Timur dan pesisir Utara Jawa Tengah ditahun-tahun pertama setelah Proklamasi. 
Sejak kemerdekaan 1945, kata korupsi sebagai kecaman pun mulai lumrah, berkat surat kabar-menunjukkan bahwa korupsi bukanlah bagian organis budaya Indonesia. Kita bisa menengok kembali pelbagai komentar dan karikatur di koran dan majalah sampai dengan akhir tahun 1950-an. Koran Indonesia Raja yang dipimpin Mochtar Lubis, misalnya sebelum diberedel pertama kali di akhir tahun 1950-an, sengit mengungkapkan dosa itu. Novel Mochtar Lubis, Senja di Jakarta mengisahkan kembali masyarakat ibu kota dengan tokoh-tokoh korup di masanya. Novel Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, yang terbit tahun 1954, mengisahkan seorang pegawai menengah yang setapak demi setapak jadi pencuri besar milik Republik. 
Hal yang tak bisa dipungkiri, pengungkapan seperti itu tak punya efek. Korupsi tetap dirasakan akibat buruknya, tetapi keadaan zaman membuatnya makin berkecamuk. Di masa "Ekonomi Terpimpin" sejak 1958, negara mengambil-alih semua perusahaan asing,  misalnya transportasi, pertambangan, perdagangan, perkebunan, dll,  termasuk penerbitan buku, semua atas nama sosialisme Indonesia yang dicanangkan Bung Karno, pemimpin besar revolusi. Aparat negara, militer, dan sipil, ditugasi memimpin perusahaan -perusahaan besar itu. Semenjak itu,  peran aparat negara menjalar kemana-mana. Di periode ini pula disemaikan cikal bakal badan yang sekarang disebut BUMN, yang dimasa awalnya dikelola tanpa akuntabilitas san transparansi yang jelas karena Ekonomi Terpimpin disertai dengan Demokrasi Terpimpin yang tak memungkin kan lembaga diluar pemerintahan mengawasi. Sejarah pertamina adalah contohnya. Selama bertahun-tahun perusahaan negara ini praktis jadi kerajaan pribadi sang pejabat, dengan kekayaan yang melimpah ruahdan kebijakan yang makin jauh dari kendali hingga terlibat uang bermiliar-miliar. 
Para koruptor, sipil maupun ABRI membentuk jaringan, saling berbagi hasil,  saling melindungi, saling memperluas wilayah kekuasaan menjadi pelbagai bentuk organized crime. Ketika pemerintahan Orde Baru berngsur angsur menjadi otokrasi Soeharto, lahir dengan cepat penyalahgunaan kekuasaan jenis baru, nepotisme. Soeharto mengambil berbagai bentuk upeti, memberi hak istimewa kepada bisnis anak-anaknya, dan dalam waktu singkat, keserakahan mereka dilembagakan tanpa malu-malu, dalam bentuk monopoli perdagangan macam-macam komoditas. 
Krisis ekonomi yang terjadi di pertengahan 1990-an tidak mudah diatasi dengan sistem yang sebenarnya rapuh, karena tak cukup didukung proses institusi on aku sasi. Setelah berkuasa hampir empat dasawarsa, Soeharto jatuh. 
Reformasi yang digerakkan para aktivis pro-demokrasi melahirkan banyak hal yang baru dengan bertujuan menjaga dan mengembangkan apa yang disebut good governance. Pelbagai bentuk tindakan perbaikan dijalankan dan pembentukan KPK adalah salah satu yang paling penting. 
Belajar dari pengalaman masa lalu, ketika langkah antikorupsi terus-menerus gagal karena ditelikung pusat kekuasaan yang mendapat keuntungan dari keadaan koruptif, KPK dibentuk dengan tekad dan cara perjuangan yang baru. Pertama-tama yang harus diupayakan, menegakkan dan mempertahankan independensi, tanpa kompromi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

REALISME HUKUM

ANALISIS RECHTVINDING OLEH HAKIM PADA PUTUSAN MK NOMOR. 21/PUU-XII/2014