PASAL KARET UU ITE
Informasi dan transaksi elektronik diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2016 yang fungsi hukumnya adalah adanya pembasmian UU ITE yang mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum,dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sahdi pengadilan.UU ITE yang memiliki cakupan meliputi globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Beberapa pasal dalam UU ITE dinilai multi tafsir dan berpotensi disalahgunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi seperti Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Contohnya seperti ujaran kebencian yang dimaksud oleh KUHP isinya adalah dalam rangka menghasut, sedangkan dalam UU ITE berbeda, lebih fleskibel sehingga lebih mudah digunakan.
Dalam UU ITE pasal yang paling sering menjadi sorotan yaitu salah satunya Pasal 27 ayat 3 yang berbunyai “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dipidana paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 ( 1 miliar rupiah)”.
Pasal ini selalu diajukan untuk tuntutan pencemaran nama baik sehingga mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini juga sering kali diminta untuk direvisi yang diharapkan di dalamnya agar ditambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik. Namun pada nyatanya setelah revisi hasilnya adalah Pasal tersebut hanya dikurangi jumlah ancaman pidananya yang semula 6 tahun menjadi 4 tahun pidana kurungan.
Pengurangan ancaman pidana ini dirasa tidak serta merta menyelesaikan akar permasalahan, karena dalam praktiknya aparat penegak hukum biasanya menggunakan tuduhan ganda atau pasal berlapis sehingga sulit untuk keluar dari jeratan hukum.
Dampak negatif dari adanya pasal karet ini yaitu menimbulkan ketakutan bagi siapa saja yang ingin melakukan kritik, pengungkapan kebenaran karena takut dipereksekusi, takut dipidana, hingga menghambat kelangsungan hidup serta aktivitas sosial yang merupakan bagian dari hak asasi sebagai manusia.
Implementasi UU ITE ini ternyata memberikan dampak pada demokrasi di Indonesia. UU ITE lahir untuk melindungi masyarakat Indonesia dari kejahatan digital dan pencurian data di internet. Sayangnya, aplikasi UU ITE ini banyak mengalami pergeseran. UU ITE justru menjadi senjata untuk menjebloskan masyarakat ke penjara atas tudingan pencemaran nama baik. Dan digunakan untuk hal-hal yang dikaitkan dengan pembungkaman atas kebebasan berekspresi.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Institute Criminal Justice Reform berpendapat Problem yang terjadi adalah pasal-pasal pidana tersebut terbukti masih bersifat karet, multi intrepretasi dan gampang disalahgunakan. Mengurangi ancaman hukuman tidak menjawab akar masalah karena dalam praktik, aparat penegak hukum kerap menggunakan tuduhan ganda, pasal berlapis, sehingga ancaman pidana yang ada dapat menahan sesorang yang dilaporkan atas pasal 27 ayat (3).
Indikasi adanya kepentingan politik dalam pembuatan UU ITE semakin jelas melihat peresmian UU ini hanya berjarak setahun dari penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan juga Pemilu Presiden dan Wapres 2009. Momentum pembuatan aturan mengenai ITE dengan poin pencemaran nama baik dapat menggaggu kebebasan masyarakat sipil untuk mengkritik pemerintah dan wakil rakyat dalam menyongsong penyelenggaraan pemilu.
Dapat dilihat pada kasus Prita Mulyasari yang menjadi sosok pertama yang dikenal publik karena terjerat UU ITE. Prita merupakan seorang ibu dua anak asal Tangerang. Ia menuliskan surat elektronik tentang ketidakpuasannya saat menjalani pelayanan kesehatan di RS Omni Internasional. Tulisannya tersebar luas di internet, dari milis ke milis. Atas kejadian itu, pihak rumah sakit merasa dicemarkan nama baiknya hingga melaporkan ke pihak kepolisian. Pihak RS melayangkan dua gugatan, pidana dan perdata kepada Prita pada September 2008. Prita pun sempat dijatuhi vonis hukuman 6 bulan penjara juga denda lebih dari Rp 204 juta oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten. Prita divonis melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 310 Ayat (2) KUHP, atau Pasal 311 Ayat (1) KUHP. Setelah menempuh jalan panjang, hingga Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, akhirnya pada 17 September 2012 Prita dinyatakan tidak bersalah dan tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik yang dituduhkan.
Dalam kasus lain misalnya anggota partai Gerindra sekaligus musisi ternama Indonesia Ahmad Dhani, yang mendapat tuntutan dengan dasar pelanggaran Pasal 45A ayat 2 UU No, 19 Tahun 2016 jo. Pasal 28 ayat 2 UU ITE karena ujaran kebencian dan divonis hukuman 1,5 tahun penjara karena salah satu postingannya di media sosial twitter.
Komentar
Posting Komentar