POSISI POLITIK DAN HUKUM
Hukum determinan atas politik dalam artian bahwa kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum kemudian ketika politik determinan atas hukum, hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Tetapi, suatu system yang ideal yang posisi keduanya berada pada posisi determinan yang seimbang maka dapat membentuk sebuah keteraturan. Meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, namun begitu hukum berlaku, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum.
Pelaku politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas, yakni alat pemerintahan dalam bidang legislatif, alat pemerintahan dalam bidang yudikatif, yang dimaksud dengan alat pemerintahan dalam bidang legislatif adalah alat pemerintahan yang bertugas menetapkan ketentuan hukum yang belum berlaku umum. Berdasarkan undang-undang dasar 1945 (lama) yang termasuk alat pemerintahan dalam bidang legislatif adalah MPR dalam menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara.
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum. Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi. Maka dari itu untuk mengetahui dengan pasti persamaan dan perbedaan sesungguhnya diantara muatan substantif sistem-sistem hukum sebaiknya tidak di mulai dari nama-nama aturan hukum dan lembaga hukum tetapi dengan mempertimbangkan fungsi aturan hukum dan lembaga hukum tersebut yaitu, situasi konflik yang nyata terjadi atau potensi konflik yang mungkin terjadi yang hendak diatur dengan aturan-aturan yang akan dikaji tersebut.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama. Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat.
Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihormati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.
Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya politik yang mempengaruhi hukum. Ada tiga macam jawaban yang menjelaskannya Pertama. Hukum determinan atas politik Kedua politik determinan atas hukum Ketiga hukum dan politik. Adanya perbedaan jawaban atas pertayaan yang mana lebih determinan diantara keduanya, terutama perbedaan antara alternative yang pertama dan kedua, disebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut.mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antara anggota masyarakat termasuk dari sudut das sein (keyataan) atau para penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat di pengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya, tetapi juga dalam pembuatannya, tetapi juga dalam keyataan-keyataan empirisnya.
Kegiatan legislatif ( Pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedir. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif ( yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum itu sendiri dengan demikian jawaban tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda, tergantung dari perspektif yang dipakai untuk memberikan jawaban tersebut.
Menjawab dua rumusan masalah sebelumnya setelah mengkaji proses pelakasanaan pembentukan hukum di Indonesia dapat dilihat sampai saat ini meskipun negara kita sudah melewati rezim orde baru masuk kepada era reformasi namun belum Nampak jelas netralitas dalam pembuatan produk hukum di Indonesia yang lepas dari kepentingan para pembuat sebagaimana diuraikan atau yang dijelaskan dalam bukunya Prof. Mahfud MD bahwa hukum itu tidak terlepas dari pengaruh politik dalam perumusannya bahkan Nampak lebih dominan politik didalamnya sehingga sulit menemukan bentuk hukum yang netral dari pengaruh politik.
Tetapi realitanya hukum tidak akan pernah terlepas dari politik dalam perumusannya hanya saja yang perlu diperhatikan arah politik yang bagaimana yang bisa melahirkan produk hukum yang responsif.
Mengamati rezim reformasi nampaknya hukum kita masih terlihat konfigurasi politik yang otoriter karena jika pada era orde lama Nampak jelas sikap otoriternya di pegang oleh kepala Negara namun di era demokrasi reformasi lebih di dibungkus pada pihak individu atau kelompok yang berkuasa diparlemen yang memainkan peran dalam pembentukan produk hukum. Maka penulis mengamati sistem demokrasi kita masih otoriter buktinya dapat dilihat produk hukum yang konservatif yang lebih pro kepada pembuat atau yang berkepentingan ketimbang pro rakyat dan politik sangat determinan terhadap hukum sehingga produk hukum yang dibuat sangat politis.
Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan untuk mengatasi ketimpangan antara hukum dan politik diperlukan hal-hal sebagai berikut: pertama, perlunya pendekatan multi disiplin terhadap hukum. Problem penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia harus diakui dan diterima oleh komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum. Bahkan komunitas hukum harus mengakui solusi berdasarkan pendekatan ilmu hukum tidak akan memadai. Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and Development yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam mencari solusi atas problem penegakan hukum harus memiliki pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial.
Kedua, pembentukan hukum harus mengedepankan kesejahteraan. Kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian yang khusus kesejahteraan dimaksudkan untuk dua tujuan. Pertama, agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas dari berbagai universitas ternama dalam penegakan hukum di sektor publik.
Ketiga, perlunya menjaga konsistensi dalam pembentukan dan penegakan hukum. Sebagaimana telah diuraikan dalam problem penegakan hukum, penegakan hukum di Indonesia sangat diwarnai oleh uang, perlakuan yang diskriminatif dan perasaan sungkan dari para aparat penegak hukum. Belum lagi penegakan hukum dijadikan komoditas politik. penegakan hukum perlu meletakkan fundamen yang kuat agar aparat penegak hukum dalam menjalankan dapat menjaga konsistensi, paling tidak semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana kondusif agar penegakan hukum dilakukan secara konsisten. Acuan untuk menjaga konsistensi ini tentunya bukan kekuasaan, uang ataupun variabel-variabel lain. Sebagai acuan adalah hukum, khususnya peraturan perundang-undangan. Memang harus diakui terkadang peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dijadikan acuan yang kuat karena adanya tumpang tindih antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, bahkan ketentuan yang diatur sangat kabur sehingga perlu dilakukan tafsir. Kelemahan ini tentu harus diatasi namun aparat penegak hukum perlu untuk didorong agar konsisten dengan hukum dalam menjalankan tugasnya.
Keempat, perlunya pembersihan internal institusi hukum. Upaya pembersihan internal dalam institusi hukum harus dilakukan dan perlu terus mendapat dukungan. Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia masih seperti layaknya masyarakat di Indonesia. Mereka takut pada hukum dan bukan taat pada hukum.
Oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan penyelewenangan jabatan. Mekanisme yang diciptakan haruslah mekanisme yang memang dapat bekerja (workable) sehingga betul-betul dapat menjerat personil yang bersalah dan dapat dipercaya (reliable) oleh masyarakat. Pembersihan internal perlu dilakukan secara intensif pada saat pengambil kebijakan telah memutuskan untuk mengedepankan kesejahteraan. Ini untuk memilah mereka yang menyelewengkan jabatan karena untuk sekedar bisa survive hidup dengan mereka yang bermotivasikan ’tamak’ mengkomersialkan jabatannya. Sebelum negara dapat memberikan kesejahteraan yang memadai akan sulit bila dilakukan pembersihan internal secara ekstensif dan tegas.
Kelima, perlunya pendekatan manusiawi dan cara-cara antisipatif terhadap perlawanan. Manusia yang menjadi obyek pembenahan pun tidak terbatas pada individu yang ada dalam institusi hukum, tetapi juga manusia yang berada di sekeliling individu tersebut, termasuk keluarga. Pembenahan terhadap manusia hukum harus dilakukan secara manusiawi. Bila pembenahan manusia hukum tidak dilakukan secara manusiawi dapat dipastikan akan ada perlawanan. Perlawanan akan menjadikan proses pembenahan semakin rumit dan panjang.
Terakhir, perlunya partsipasi publik. Dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Partisipasi publik tidak sekedar melibatkan lembaga swadaya masyarakat, tetapi para individu yang ada dalam masyarakat. Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum di Indonesia. Setiap individu Indonesia akan memiliki peran dan kontribusi besar. Banyak yang bisa dilakukan. Mulai dari hal kecil, seperti setiap individu tunduk pada hukum bukan karena takut tetapi karena taat. Orang tua yang mengarahkan kepada anak agar mematuhi aturan sejak usia belia. Bahkan, individu yang terkena proses hukum dapat menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melemahkan penegakan hukum. Hanya saja dalam menggerakkan partisipasi publik sedapat mungkin tidak dilakukan melalui gerakan-gerakan formal. Gerakan harus dilakukan secara bottom up dan bukan top down. Bahkan bila perlu partisipasi publik dilakukan secara virtual dan tidak dirasakan.
Komentar
Posting Komentar