BAB II MODEL MODEL HUKUM PENALARAN

1.       Aliran Hukum Kodrat
Menurut Aliran Hukum Kodrat ada varian yang beragam tentang pemaknaan hukum, namun satu hal yang jelas bahwa aliran ini menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak. Hakikat hukum dalam arti yang sebenarnya dimaknai lebih sebagai asas-asas daripada norma. Pemaknaan hukum sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan dalam Aliran Hukum Kodrat didukung oleh paham idealisme. Menurut paham ini, gagasan kebenaran dan keadilan itu tidak datang dari pengalaman melainkan mendahului pengalaman (apriori bukan aposteriori). Gagasan itu adalah sesuatu yang sangat asasi sekaligus asali inilah yang arus dipertahankan eksistensinya pada setiap wujud hukum. Untuk membuktikan adanya konsistensi asasi-asali di antara hukum-hukum tersebut, digunakan pendekatan melalui penalaran deduktif.
Pola penalaran model Aliran Hukum Kodrat sepenuhnya menunjukkan kesamaan dengan penalaran moral. Legal reasoning di sini diidentifikasi sebagai moral reasoning. Seperti dikatakan Visser’t Hooft, suatu kerangka referensi yang penting dalam penalaran hukum memang terletak pada analisis atas moral speech, yaitu arti pelaksanaann percakapan rasional pada bisang penentuan-penentuan titik berdiri moral.
Sebagai paham epistemologis dari Aliran Hukum Kodrat adalah penempatan intuisionisme. Intuisi sering diartikan sebagai pemahaman atau pengenalan terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi (penyimpulan). Pola penalaran Aliran Hukum Kodrat adalah intuituf. Hal ini sejalan dengan karakteristik pemaknaan hukumnya berupa asas-asas kebenaran dan keadilan yang universal.
Intuisinionisme dalam kajian filsafat mempunyai beberapa tingkatan. Lorens Bagus menyebutkan dua kriteria intuisi, yaitu intuisi sensibel (inderawi) dan intuisi intelektual. Indera mampu untuk mempersepsikan sesuatu secara langsung dan persepsi itu turut menyajikan eksistensi individu dalam penampakan-penampakan inderawi. Sementara itu, yang dimaksud dengan intuisi intelektual tidak berhubungan langsung dengan manusia. Hanya roh murni mempunyai intuisi intelektual sempurna.
Pilar ontologis dan epitemologis dari Aliran Hukum Kodrat juga harus diperkuat dengan pilar ketiga, yaitu aspek aksiologisnya. Terkait dengan dimensi aksiologis ini, Gustav Radbruch menyebutkan tiga tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Ketiganya dapat diibaratkan seeperti tripod yang menopang dan menuntun perjalanan penalaran hukum.
2.       Positivisme Hukum
Seiring dengan pengaruh Positivisme yang merambah dunia sains pada umumnya, maka tidak terkecuali disiplin hukum pun menghadapi badai serupa. Pengaruh ini memberi bentuk pada berbagai keluarga sistem hukum. Positivisme hukum, dalam definisi yang paling tradisional tentang hakikat hukum, memaknainya sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologisnya, pemaknaan demikian mencerminkan peggabungan antara idealisme dan materialisme.
Berbeda dengan Aliran Hukum Kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada Positivisme Hukum aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret.
Jika Aliran Hukum Kodrat memiliki kekuatan argumen pada wacana validasi (legitimasi) hukum buatan manusia, maka kekuatan argumen Positivisme Hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif itu ke dalam struktur kasus-kasus konkret.
Positivisme Hukum sendiri pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang tata cara memvalidasi norma positif itu.  Hans Kelsen relatif berhasil menjelaskan adanya sistem hierarkis dari norma-norma positif. Masalahnya baru timbul ketika ia sampai ke puncak sistem hierarki itu, yang sebelumnya Kelsen diberi nama Grundnorm (norma dasar).  Norma dasar ini hadir secara apriori dan relatif permanen.  Konsep ini kemudian diambil alih oleh Hans Nawiasky denganStaatsfundamentalnorm-nya.
Keberatan Kelsen dipersamakan dengan konsep Aliran Hukum Kodrat dan Mazhab Sejarah, tetaplah bahwa konsep Grundnormyang dikemukakannya memaksa Positivisme Hukum membuka sedikit celah dari kekukuhan argumentasi dan ketertutupan sistem logikanya.  Ketegasan Positivisme Hukum untuk menghilangkan persyaratan koneksitas antara hukum dan moral membuat ranah aksiologis aliran ini hanya terbatas pada pencapaian kepastian hukum. Inti dari kepastian hukum adalah prediktibilitas, yaitu kemampuan mempersepsikan "seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu".
Aspek aksiologis yang diperjuangkan Positivisme Hukum adalah kepastian hukum. Dengan mengambil sumber formal hukum berupa perundang-undangan, diyakini bahwa hal ini dapat diwujudkan. Asas legalitas merupakan roh dari upaya pengejaran kepastian hukum tersebut.
3.       Utilitarianisme
Model penalaran hukum ini pada dasarnya berangkat dari titik tolak yang sama dengan Positivisme Hukum. Aspek ontologis dari model penalaran Utilitarianisme tidak berbeda. Apa yang membedakan Utilitarianisme dan Positivisme Hukum adalah pada gerakan top down yang kemudian diikuti dengan gerakan bottom up. Pola penalaran bottom up ini adalah nondoktrinal-induktif. Pola penalaran ini lebih mudah mereka lakukan, bahkan dianggap suatu keharusan agar produk hukumnya dinilai responsif.
Utilitarianisme dalam konteks ini sebenarnya memberi nilai tambah pada Positivisme Hukum, namun ironisnya, juga membuat hukum kehilangan kemurniannya seperti diinginkan Kelsen. Menurut kaca mata Utilitarianisme, kondisi ini tidak mungkin dihindari karena hukum tidak lagi bergerak dalam ruang steril dan sistem logika yang terturup rapat.
Jika model penalaran ini dituangkan dalam putusan hakim, maka putusan tersebut tidak sekadar mengacu pada kepastian semata, melainkan juga kemanfaatan bagi pihak-pihak terkait dalam arti luas.  Kepastian hukum menurut Utilitarianisine harus menjadi tujuan primer hukum, baru kemudian diikuti kemanfaatan sebagai tujuan sekundernya. Sayangnya, semua konstruksi berpikir ini hanya ada di benak si pengemban hukum itu, tidak mungkin dapat dibaca secara eksplisit oleh penstudi hukum.
4.       Mazhab sejarah
Pola penalaran yang dikembangkan oleh Mazhab Sejarah pada dasarnya tidak melewati langkah-langkah yang sistematis. Itulah sebabnya, model penalarannya sangat alami, bukan sesuatu yang didesain khusus, konsisten dengan jargon aliran berpikir ini bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh bersama dengan masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Aspek ontologis dari Mazhab Sejarah menekankan bahwa hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan. Proses institusionalisasi dari perilaku sosial ini sangat bergantung pada aspek aspek seperti efektivitas menanam, kekuatan menentang dari masyarakat, dan kecepatan menanam.
Ditinjau dari aspek aksiologisnya, model penalaran Mazhab Sejarah menggabungkan sekaligus antara kemanfaatan (hasil pola penalaran nondoktrinal-induktif) dan keadilan (hasil pola penalaran doktrinal- deduktif atas nilai-nilai yang terinternalisasi). Kedua tujuan hukum dalam aspek aksiologis ini berada pada tataran yang sama primernya, sehingga aspek aksiologis ini berada pada pengupayaannya pun dilakukan secara simultan.
Model penalaran Mazhab Sejarah ini mengadopsi secara bersamaan tujuan kemanfaatan dan keadilan. Pola perilaku sosial yang bercorak kebiasaan jelas sangat didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis atau kemanfaatan. Sebaliknya,Volksgeist sebagai abstraksi nilai-nilai yang diyakini telah mengalami proses internalisasi itu, mengejawantahkan tujuan keadilan. Tujuan keadilan ini diperintahkan oleh kesusilaan yang mutlak. Model penalaran Mazhab Sejarah jelas sangat kuat bernuansa sosiologis-antropologis.
5.       American Sosiological Jurisprudence
Sosiological Jurisprudence adalah model penalaran yang lahir dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Kekhasan dari sistem hukum Amerika Serikat pada umumnya, yang berakar dari keluarga sistem cammon law, adalah aspek ontologisnya yang mengidentifikasi hukum sebagai putusan hakim in-concreto. Hukum adalah judge-made law.
Pola penalaran yang digunakan hakim dalam menyelesaikan kasus- kasus konkret adalah dengan memadukan dua pendekatan sekaligus secara bersamaan, yakni polabottom-up yang nondoktrinal-induktif dan pola top-down yang doktrinal-deduktif.
Model penalaran ini juga dapat diperbandingkan dengan Utilitarianisme Perbedaan yang mencolok dari keduanya adalah pada gerakan linear dan simultan pada masing-masing pola penalaran. Utilitarianisme mendahulukan pola top-downbaru kemudian diikuti oleh gerakan bottom-up, sementara pada Sociological Jurisprudence, kedua pola tersebut diasumsikan berlangsung bersamaan.
Aspek aksiologis dari model penalaran Sociological Jurisprudence menunjukkan adanya tujuan kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan kemanfaatan dicapai dengan pendekatan nondoktrinal-induktif melalui metode penelaahan dengan pendekatan doktrinal-deduktif melalui metode hulkum penelaahan fakta-fakta empiris, sedangkan kepastian hukum otoritatif baik berupa yurisprudensi yang mempunyai kekuatan mengikat berkat penetapan asas preseden, maupun dalam bentuk perundang-undangan.
6.       Realisme Hukum
Realisme Hukum, apabila dipresentasikan sebagai model penalaran, dapat dianggap sebagai model yang mengambil posisi paling bertolak belakang (paradoksal) dengan Positivisme Hukum. Ketidakpercayaan kaum realis terhadap norma positif berpuncak pada ketidakpercayaan mereka pada konsep the rule of law.
Dilihat dari aspek ontologisnya, Realisme Hukum mengartikan hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial. Pemaknaan demikian jelas sangat jauh dari nuansa filsafat, tetapi lebih menjurus kepada kombinasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan ekonomi. Tidak mengherankan apabila Karl N. Llewellyn menyebut Realisme  Hukum, ".. is not a philosophy it is a technology.”
Lazimnya, Realisme Hukum dibedakan dalam dua versi, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Perbedaan ini muncul sebagian besar karena dipengaruhi karakteristik keluarga sistem hukum di antara kedua kawasan tersebut. Realisme Hukum versi Amerika juga dianggap lebih memberi perhatian pada perilaku (behaviour orientation). Sedangkan Realisme Skandinavia di sisi lain lebih mempersoalkan landasan metafisis hukum.
Aspek epistemologis dari Realisme Hukum adalah fakta konkret secara mutlak. Demikian berkuasanya struktur fakta ini, sehingga ia tidak lagi memerlukan struktur aturan apapun untuk memandu cara berpikirnya. Pola penalaran Realisme semacam ini dapat ditelusuri dari postulatnya bahwa setiap kasus adalah unik, sehingga tidak mungkin ada norma positif, apalagi berbentuk undang-undang, yang mampu menjadi premis mayor untuk kemudian dideduksikan kepada struktur kasus tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PT  MARIMAS TERHADAP KETENTUAN DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM FENOMENA OJEK ONLINE