Langsung ke konten utama

BAB IV ASPEK ONTOLOGIS, PENGERTIAN EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS






Bab IV PENALARAN HUKUM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN (aspek ontologis,epistemologi, dan Aksiologis)June 20, 2019


AspekOntologis
        Secara ontologis, hakikat hukum yang dipersepsikan secara umum dalan penalaran hukum di Indonesia adalah hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan. Kesimpulan ini dapat ditarik dari perspektif makro, yakni dari sistem hukum Indonesia. dan secara mikro yakni dari kasus Kedung Ombo.
Pemaknaan hukum secara sempit demikian sesungguhnya mempersempit dimensi ontologism dari ilmu hukum itu sendiri. Menurut B. Arief Sidharta objek telaah ilmu hukum adalah hukum positif di suatu negara tertentu pada waktu negara tetentu. Hukum positif ini merupakan sistem konseptual asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum. Pengolahan bahan hukum menurut B. Arief Sidharta dilakukan dengan selalu mengacu kepada keadilan dan konteks kesejahteraan dan kemasyarakatan. Penalaran hukum secara ontologis harus membebaskan diri dari dari pemaknaan hakikat hukum hanya sekedar norma (kaidah) dalam sistem perundang-undangan.
Untuk melihat perspektif makro realitas pemaknaam hukum di Indonesia, pertama-tama perlu dilihat dari perjalanan sejarah yang membingkai bangunan sistem hukum tersebut sehinggal menunjukkan betapa besar pengaruh politik hukum kolonial Belanda terhadap corak sistem hukum Indonesia sampai saat ini.
Aspek Epistemologis 
 Diberikan contoh dengan kejadian kasus "Kedung Ombo" (pembebasan tanah). Seorang hakim yang bernama Agung Zaenal Asikin menerima tugas mengadili ini di tingkat asasi, ia harus mempelajari memori kasasi dan kontra-memori kasasi yang diajukan masing-masing pihak. Apa yang dilakukannya sebenernya persis seperti yang juga dilakukan oleh hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang mengadili kasus ini sebelumnya.
Hakim Agung Purwato S. Gandasubrata melakukan langkah-langkah penalaran hukum yang sama, dengan mempelajari memori PK dan kontra-memori PK.
Menurut Purwato, kata-kata "tidak dapat diterima" ini berbeda dengan "gugatan ditolak". Secara simbolis,Purwato seakan ingin mengatakan bahwa dalam kasus ini ia tidak memenangkan pemerintah, melainkan hanya tidak menerima gugatan warga Kedungpring terhadap pemerintah. Waga Kedungpring memang merasa dipermainkan MA . Baru beberapa bulan dikabari "menang", kemudia dikabari lagi bahwa mereka "kalah". Dari aspek epistemologisnya, kedua putusan yang berbeda 180° tersebut mengundang pertanyaan. Mengingat kompleksitas permasalahan yang dimunculkan dalam putusan mereka dalam bahasan berikut hanya dibatasi pada tiga isu yaitu, ada tidaknya musyawarah, hakim mengabulkan, lebih daripada yang diminta, dan sumber hukum yang digunakan.
a. Ada Tidaknya Musyawarah
         Persoalan sudah terjadi tidaknya "musyawarah" merupakan isu sentral dalam kasus Kedung Ombo ini. Para pihak yang terlibat perkara juga mempermasalahkan hal ini dimulai dari sidang tingkat pertama pengadilan negeri sampai pemeriksaaan PK di Mahkamah Agung. Pada putusan tingkat kasasi, Zaenal Asikin menyatakan bahwa musyawarah untuk mencapai kesepakatan harga, secara material belum pernah dilakukan. Secara formal memang ada undangan bagi para penduduk untuk hadir, tetapi yang terjadi pada saat itu bukanlah musyawarah dalam arti sebenernya,melainkan penduduk diintimidasi.
b. Hakim Mengabulkan Lebih daripada yang Diminta
Larangan hakim untuk mengabulkan gugatan lebih daripada yang diminta, khususnya dalam perkara perdata, dikenal sejak lama dalam doktrin hukum dan diterima sebagai maksim hukum yang universal. Di Indonesia ini dieksplisitkan dalam pasal 178 HIR dan Pasal 67 Huruf c Undang-Undang Mahkamah Agung. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Zaenal Asikin sepatutnya menarik perhatian para penstudi hukum,karena sebagai guru besar hukum perdata dan hakim senior di jajaran Mahkamah Agung, tidak mungki keputusannya untuk melanggar asas dan norma hukum positif tersebut tidak dilakukannya dengan sengaja.
 c. Sumber Hukum yang Digunakan
Norma perundang-undangan yang sejak awal dijadikan acuan oleh Zaenal Asikin adalah Permendagri No 15 Tahun 1975. ketika kasus ini sedang diproses di tingkat MA , terjadi perubahan peraturan, yakni berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 yang secara eksplisit menyatakan mencabut keberlakuan Permendagri No. 15 Tahun 1975. Zaenal Asikin bersikeras untuk tetap menggunakan peraturan lama, dengan menggunakan alasan yang biasa dikemukakan kaum Positivis, yaitu asas "undang-undang tidak berlaku surut." Sekalipun demikian, asas ini lalu diberi relativitas pemaknaan, yang sebenernya merupakan pengecualian terhadap asas itu sendiri. Dalam pertimbangan putusannya, Zaenal Asikin menambahkan asas "jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan."Artinya,ada saja kemungkinan suatu undang-undang untuk berlaku surut sepanjang undang-undang yang baru itu memuat ketentuan yang lebih menguntungkan. 
3. Aspek Aksiologis
Aspek aksiologis dari penalaran hukum pada hakikatnya sama dengan tujuan hukum itu sendiri. Untuk konteks keindonesiaan, rupanya aspek aksiologis tersebut mendapat elaborasi yang menarik karena dihubungkan dengan cita hukum Pancasila. Tujuan hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindalan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

REALISME HUKUM

ANALISIS RECHTVINDING OLEH HAKIM PADA PUTUSAN MK NOMOR. 21/PUU-XII/2014