BAB IV TEORI HUKUM PEMBANGUNAN
Tidak terbantahkan bahwa penduduk Indonesia dilihat dari perjalanan kebudayaannya telah sangat terbiasa hidup dalam pluralisme dalam berbagai hal. Sebelum bangsa Eropa menguasai beberapa jalur perdagangan di Nusantara, perbedaan tersebut belum menjadi hambatan dalam interaksi di antara mereka. Hukum adat dan di sana-sini mendapat pengaruh dari hukum agama, telah dirasakan cukup mengatur hubungan tersebut. Naun, setelah ekspansi para pedagang Eropa itu, hukum adat mulai terdesak. Dengan penekanan pada nilai kekuasaan (politik) yang kuat ditambah dengan optic etnosentrismenya, para pendatang dari Eropa ini berusaha mendikte model penalaran hukum yang berlaku di Indonesia.
Sejak periode awal (1840-1860) telah dikembangkan keinginan untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum bagi semua penduduk di Hindia Belanda. Dalam hal ini, standar sistem hukum yang digunakan adalah sistem hukum yang dianut di Negeri Belanda.
Akan tetapi, upaya-upaya penguasa kolonial di atas tidak sepenuhnya berjalan sukses, walaupun harus pula diakui bahwa pengaruhnya sangat membekas, khususnya di lapangan hukum perdata. Keraguan terhadap politik hukum pemerintah kolonial ini bahkan datang dari komunitas hukum dan politik di Negeri Belanda sendiri ketika itu. inilah yang mendorong adanya perubahan pendekatan dari pemerintahan Hinda Belanda untuk sedikit demi sedikit menerapkan politik yang lebih etis terhadap penduduk di tanah jajahannya, khususnya kepada golongan pribumi.
Teori Hukum Pembangunan ini dikenalkan oleh Moch. Kusumaatmadja. Teori yang juga disebut sebagai ‘Mazhab Unpad’ ini merupakan sebuah teori yang menggunkan pendekatan normatif-sosiologis. Mochtar menyadari bahwa pengaruh Positivisme Hukum sangat kuat mengakar dalam pola pikir fungsionaris hukum di Indonesia. Oleh karena itu, peran pembentukan hukum (baca: undang-undang dalam arti material dan tertulis) menjadi tumpuan utama. Sayangnya, menurut Mochtar penciptaan hukum (undang-undang) yang lazim disebut dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ini tidak cukup sukses.
Banyak kalangan menilai, sebagaimana diakui oleh Mochtar sendiri, bahwa Teori Hukum Pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara berpikir Harold D. Lasswell dan Mytes S. McDougal (Policy-Oriented Approach) serta F.S.C. Northrop (Culture-Oriented Approach) ditambah dengan teori hukum dari Roscoe Pound (minus konsepsi mekanisnya).
Dari Northrop, Mochtar menyertakan pandangannya bahwa hukum tidak sekadar terdiri kumpulan norma, melainkan juga berbagai kelembagaan (institusi) yang hadir dalam kebudayaan setempat. Lasswell dan Mc.Dougal sependapat bahwa hukum tidak terpisahkan dari faktor-faktor nonyuridis. Hukum harus dilihat sebagai proses, yaitu proses yang akomodatif terhadap faktor-faktor sosial lainnya. Lasswell yang berlatar belakang ilmu politik dan McDougal yang berlatar belakang ilmu hukum pada akhirnya membuat kajian multidisipliner. Tidak mengherankan apabila kajian tentang ‘public policy’ dari keduanya menggambarkan pendekatan antara politik dan hukum.
Ada sisi menarik dari teori yang disampaikan Lasswell dan McDougal tersebut. Mereka memperlihatkan betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoretis dan penstudi hukum pada umumnya serta pengemban hukum praktiks dalam proses melahirkan suatu kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis, namun di sisi lain juga bersifat mencerahkan. Teori Hukum Pembangunan, sebagaimana ditunjukkan dalam uraian nantinya akan memperagakan pola kerja sama seperti ini.
Dalam proses itu, Mochtar menambahkan adanya tujuan pragmatis (demi pembangunan). Hal terakhir ini dikatakannya sebagai masukan dari pemikiran Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich. Dari aspek ini terlihat bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori tentang hukum. Teori tentang hukum sendiri merupakan teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis.
Mochtar secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat menjadi hukum sebagai sarana untuk membangun masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu; dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu. Untuk itu, maka diperlukanlah sarana berupa peraturan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Meskipun Mochtar menegaskan bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah kolonial. Meski demikian, Mochtar tetap mengutip beberapa pepatah adat dan berusaha menunjukkan bahwa dalam alam pikiran hukum adat sendiri tidak ada penolakan terhadap pembaruan seperti yang disarannya. Pemikiran ini kemudian membawa pada kesimpulan bahwa jalan keluar yang terbaik bagi Indonesia dalam membangun hukum nasionalnya adalah mengutamakan asas-asas yang umumnya diterima bangsa-bangsa (di dunia) tanpa meninggalkan asas-asas hukum asli atau hukum adat yang masih berlaku dan relevan dengan kehidupan dunia modern.
Mochtar juga mengusulkan agar pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah tidak secara tergesa-gesa dan terlalu pagi membuat keputusan, antara meneruskan saja tradisi hukum kolonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, atau untuk secara apriori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional. Pun Mochtar juga mengusulkan untuk dilakukannya penelitian-penelitian terlebih dahulu untuk menentukan bidang hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (tanah) apa yang dibiarkan berkembang sendiri.
Adapun ide hukum sebagai sarana untuk membangun masyarakat menurut Soetandyo adalah sebagai berikut:
“Ide law as a tool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara selektif untuk memfungsikan hukum guna merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannnya. Ide seperti ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Oder Baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan ranah netral—yang juga hukum ekonomi, tanpa melupakan tentu saja hukum tata negara—manakala sempat diselesaikan dengan hasil baik akan sangat diharapkan dapat dengan cepat membantu penyiapan salah satu infrastruktur pembangunan nasional (yang sangat kentara mendahulukan pembangunan infrastruktur politik dan ekonomi itu.”
Soetandyo lebih lanjut mencatat bahwa dalam perkembangannya tidak semua ahli hukum sependapat dengan pengembangan hukum nasional dengan cara mengembangkan hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam kehidupan internasional, dengan maksud untuk memperoleh sarana yang berdayaguna guna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional—dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur sosial budaya yang tidak netral atau belum dapat dinetralkan.
Ada dua golongan yang tidak setuju mengenai hal tersebut. Pertama,mereka yang percaya harus ada kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (kolonial) ke yang kini (nasional). Kedua, adalah mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan berangkat dari hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adat. Selain itu juga berasal dari pendapat Kusumadi Pudjosewojo dan Soediman Kartohadiprodjo yang pada intinya sama-sama meneruskan pandangan Vollenhoven dan Ter Haar berkenaan dengan pentingnya hukum asli (baca: hukum adat) ini dikembangkan sebagai sumber yang patut bagi hukum nasional Indonesia.
Suatu tanggapan lain mengenai gagasan Mochtar datang dari S. Tasrif yang mengingatkan bahwa pembinaan hukum tidak diarahkan untuk menghasilkan perundang-undangan baru belaka, tetapi seharusnya juga menghasilkan perundang-undangan yang tidak menyampingkan hak asasi manusia dan martabat manusia, sehingga slogan rule of law pada hakikatnya akan menjadirule of just law.
Sementara itu, konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat merupakan konsep pembangunan hukum (termasuk Prolegnas) atau bahkan berpotensi dikembangkan menjadi aliran filsafat hukum yang relevan untuk kondisi Indonesia sepanjang landasan-landasan filosofinya dilengkapi dielaborasi.
Pemikiran Teori Hukum Pembangunan menurut Mochtar sendiri adalah sumber hukum hukum utama masih tetap undang-undang. Untuk itu dalam perumusan hukum yang baru, pertama-tama tetap harus diperhatikan sumber hukum yang sudah eksis. Mochtar menyadari benar kondisi sistem hukum Indonesia sebagai pewaris sistem hukum Belanda. Dalam perumusan undang-undang yang baru itu, harus diperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya, ada tujuan-tujuan pragmatis harus diperhatikan oleh si pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, pembentuk hukum dituntut memiliki sense of public service.
Secara ontologies, hukum dalam kacamata teori ini adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Konsep demikian merupakan pembelokan dari [American] Sociological Jurisprudence yang mengartikan hukum sebagai putusan hakim in-concreto. Oleh karena itu, analisis epistemologis dari Teori Hukum Pembangunan dimulai dengan pola doktrinal-deduktif. Sumber hukum utama yang dijadikan acuan adalah peraturan perundang-undangan. Norma-norma ini memuat kebijakan-kebijakan publik yang sebagian telah diimplementasikan.
Mochtar menolah mengindentikkan teorinya dengan Utilitarianisme dari Bentham. Menurutnya, teori tersebut terkesan ‘kering’ dari nilai-nilai budaya. Klaim Mochtar ini tentunya agak kontradiktif dengan Teori Hukum Pembangunan itu sendiri. Sebab, Teori Hukum Pembangunan lebih didesain kea rah pengembangan ranah-ranah hukum netral, seperti di bidang perdagangan atau pertambangan.
Komentar
Posting Komentar