BAB V ASPEK AKSIOLOGIS

Satu pertanyaan menggelitik dapat diajukan berkaitan dengan tinjauan aspek aksiologis dari penalaran hukum. Pertanyaan ini berangkat dari pemikiran sebagal berikut. Dalam hukum alam (law of nature) dikenal konsep bahwa penyimpangan terhadapnya menunjukkan kesalahan pada hukum alam tersebut. Sebagai contoh, apabila hukum alam menetapkan matahari terbit di ufuk Timur dan terbenam di Barat, dan ternyata terjadi penyimpangan, maka berarti pernyataan "hukum alam tersebut-meminjam istilah Karl R. Popper-relah terklasifikasi. Jadi, bila hukuni alam dilanggar, yang salah adalah hukum alam tersebut; jika hukum positif dilanggar, lalu Siapa yang harus dipersalahkan?
Biasanya, secara mudah pertanyaan itu dapat dijawab dengan menyatakan bahwa hukum alam bersifat deskriptif, sementara hukum positif bersifat preskriptif. Hukum alam bersinggungan dengan ranah das Sein, sedangkan hukum positif berada di ranah das Sollen. Namun, Jawaban yang diberikan di atas belum cukup memuaskan. Untuk menjelaskan lebih jauh, pertama-tama harus disepakati bahwa penalaran hukum adalah penalaran yang dilakukan manusia untuk diabdikan kepada kemanusiaan. Semua kasus konkret yang menjadi bahan penalaran hukum adalah kasus yang berdimensi kemanusiaan. Penalaran hukum dengan demikian merupakan pergulatan kemanusiaan, dengan manusia sebagai para subjek pelakunya. Kata kemanusiaan" (humanity) di sini mengandung arti yang berbeda dengan sekadar "manusia" (human being). Kemanusiaan tidak cukup hanya berurusan dengan fisik atau psikis, melainkan terutama mencakup harkat martabat tertinggi seorang manusia secara utuh.
Pandangan yang meletakkan distansi antara subjek dan objek penalaran seperti yang dilakukan oleh penalaran ilmu iaman modern, pada kenyataannya tidak pernah diterapkan sepenuhnya dalam penalaran hukum. Di antara semua model penalaran yang telah ditampilkan pada Bab III, terlihat Positivisme Hukum adalah aliran yang paling banyak 
terpengaruh oleh arus besar (mainstream) pola penalaran ilmu pengetahuan jaman modern. Kendati demikian, dalam Positivisme Hukum, dimensi kemanusiaan ini tetap tidak dapat ditiadakan begitu saja.
Norma-norma hukum positif, sepanjang masa selalu memberi porsi yang sangat tinggi terhadap perlindungan atas hak-hak "terdakwa" atau "tergugat. Dalam Positivisme Hukum perlindungan ini tetap mendapat porsi yang besar "lebih baik melepaskan sepuluh orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah," adalah salah satu jargon yang paling tinggi dikutip untuk membuktikan sisi kemanusiaan dari Positivisme Hukum.
Larangan retroaktif dan analogi sebagai unsur penting dalam asas legalitas, yang jupa menjadi ciri menonjol dalam Positivisme Hukum, ditujukan untuk melindungi kemanusiaan. Ahli hukum pidna Jerman, Anselm von Feuerbach (1775-1833), menemukan asas legalitas ini dan menuliskannya dalam bahasa Latin meniadi 'nullum crimen, nula poena sine frevia lege, yang sebenarnya terdiri dari tiga susunan:
nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurit i undang-undang.
nula poena sine crimine. tidak ada pidana tanpa perbiatan pidana; i nullm crimen sine poena lexal: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Asas ini memuat dua fungsi pertama, fungsi melindungi rakyat dari kemungkinan pelaksanaan Kekuasaan tanpa batas dari pemerintah. Kedua,  fungsi instrumental bahwa tidak ada perbuatan pidana yang tidak ditunut. Menurut I. Schaftmeister et al, asas legalitas ada hubungannya dengan fungsi instrumental dari undang-undang pidana, lahan untuk memberikan Tungsi instrumental ini diikuti oleh beberapa negara (seperti Jerman, Austria, Spanyol, dan Italia), tetapi tidak oleh Perancis, Belgia, dan Belanda. Fungsi kedua ini memberi paksaan psikologis (bagi penguasa) untuk menerapkan hukum tanpa pandang bulu." tampaknya Indonesia juga mengikuti jejak  Belanda untuk tidak melekatkan hungsi instrumental ini, sebagaimana tampak dari dianutnya asas oportunitas dalam sistem hukum Indonesia.
Dianutnya asas oportunitas berangkat dari latar belakang pemikiran bahwa perlindungan terhadap rakyat (fungsi pertama asas legalitas) tidak boleh sampai mengikat pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi perjalanan tugas penuntutan pidana yang efektif. Harus ada pertimbangan kepentingan dan hal ini berada di area politik hukum kriminal (pidana). Khusus untuk kondisi di Belanda, Schaffmeister menambahkan, bahwa struktur sosial 
ekonomis masyarakat belanda sekarang ini sangat berbeda dengan stukur terhadap ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan dalam Abad ke.I8
Dari aspek aksiologis, penjelasan tentang asas legalitas tersebut kembali memberi penegasan penalaran Positivisme Hukum dan Utilitarianisme, sungguh-sungguh tidak dengan kenyataan-kenyataan sosial yang terus-menerus memberi evaluasi kepadanya. Evaluasi ini dituangkan dengan logika dan baiasa tertentu, yang kemudian pada akhirnya mengalir kembali ke ilmu hukum (lihat Ragaan II-a: Hubungan Fungsional Antar-llmu). Aspek aksiologis dari penalaran hukum menurut kaca mata ilmu hukum dogmatis adalah deontologis-etis (model penalaran positivisme Fukum) atau deontologis-etis untuk kemudian diikuti oleh deontologis-etis (model penalaran Utilitarianisme). Sekali lagi, karena konsep Positivisme Hukum dan Uilitarianisme ini dekat dengan Rasionalisme Kritis, kiranya ketiga model penalaran ini perlu diperbandingkan secara khusus. Perbandingan ini sekaligus berguna urtuk menuntun kita pada jaaban terhadap pertanyaan pada awal ulasan tentang aspek aksiologis dalam penalaran huku:m ini, yaitu: bila hukum alam dilanggar, yang salah adalah hukum alam tersebut; iika lukum positit dilanggar, lalu siapa yan, harus dipersalahkan?
Rasionalise Kritis memandang teori hanya pendugaan atau pengiraan, yang berarti teori tidak pernah mutiak benar. Positivisme Hukum tampaknya berseberangan dengan pandangan ini. Untuk konteks ini, Positivismei Hukum ternyata lebih mendekati Positivisme Logis yang benar-benar memisahkan secara tegas antara subjek dan objek. Sementara itu, konsep falsifikasi dalam Rasionalisme Kritis, sekalipun memilliki perbedaan priasip, secara teknis dapat dianalogikan dengan pola penalaran nondoktrinal induktif dari Utilitarianisme.
Norma hukum memuat asumsi-asumsi tentang kebenaran. Asumsi inilah yang memberi legitimasi bahwa norma positit dalam sistem perundang undangan itu secara moralitas memenuhi syarat untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, dimensi logika dan etika menjadi satu. Kebenaran (logis) adalah juga  kebaikan (etis). Hal inilah yang dicoba untuk diupayakan terus-menerus ioleh ilmu hukum dogmatis tentu saja, semua itu dipatuhi dengan dalih demi kepastian hukum. Dengan model penalaran Positivisme Hukum yang diembannya (khususnya pada tradisi pertama dan kedua Positivisme Hukum menurut Meuwissen) dengan, ilmu hukum dogmatis meyakini bahwa kepastian hukum tidak harus mengalah kepada tujuan hukum apapun juga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

REALISME HUKUM

ANALISIS RECHTVINDING OLEH HAKIM PADA PUTUSAN MK NOMOR. 21/PUU-XII/2014