BAB V ASPEK EPISTEMOLOGIS
Ulasan di muka telah menunjukkan bahwa ilmu hukum dogmats mempunyai akar ontologisnya pada Rasionalisme Kritis. Demikian juga dengan aspek epistemologis. Uraian di bawah akan mengelaborasi akar epistemologis ini dari penalaran ilmu hukum dogmatis tersebut, dan kecenderungan yang dianut oleh pola penalaran dalam teori hukum dan filsafat hukum.
Sekalipun menggunakan nama positivisme," ada perbedaan prinsipi antara positivisme Logis dan lositivisme Hukum. Positivisme Logis sebagal aliran hlsatat, khususnva dalam wacana hlsatat pengetahuan (epistemolog berangkat dari empat asas, yakni: (1) Empirisme; (2) Positivisme; (3) Logika; dan (5) Kritik IImu. Empat asas ini kemudian mengejawantah menjadii lima asumsi dasar, yaitu: (1) logiko-empirisme; (2) realitas objektif; (3) reduksionistne; (4) determinisme; dan (S) bebas nilai.
Logika-empirisme berangkat dart pemikiran bahwa kebenaran hanya mungkin diverifkasi melalui pembuktian empiris. Pengetahuan yang tidaki bisa dibukikan dengan eksperimen (pembuktian pengalaman) adalah pengetahuan aon-lmiah (not make sense). Dengan asumsi inl, berarti setiap pengetahuan diperoleh secara aposteriori, bukan apriori. Karena menggunakan prinsip logiko-empirisme ini. maka Positivisme Logis akhirnya berkembarg menjadi Empirisme Logis.
Model penalaran Positivisme Hukum, ika diamati dengan saksama, ternyata justru menghindari asas logiko-empirisme ini. Penampakan pertana dapat dillat dari perbedaan pola penalaran lositivisme Logis dan Empirisme Logis dengan positivisme Hukum.
llmu hukum dogmatis justru terkadang menghindari kebenaran kebenaran yang sccara empiris dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Apa yang disebut dengan fiksi hukum adalah salah satu bukti ketidakbenaran tersebut. Fiksi hukum yang paling terkenal adalah "semua orang dianggap tahu hukum' (setelah suatu peraturan perundang-undangan dipublikasikan secara formal dalam lembaran negara/lembaran daerah). Fiksi ini memangi dibuat bukan tanpa tujuan. Ilmu hukum dogmatis yang berpegang teguh pada sistem hukum positit memerlukan kepastian agar suatu aturan dapat ditegakkan segera setelah norma hukum tersebut dinyatakan berlaku dengan demikian, alasan ketidaktahuan tidak mungkin digunakan karena hanya akan menggerogot tujuan kepastian hukum tersebut dogmatis (bersama dengan teori hukum) dapat dipandang berada dalam
Pada wilayah Timur, terdapat sekumpulan disiplin nonhukum, yang terdiri dari ilmu-ilmu empiris. Karena salah satu objek telaah dari ilmu ilmu empiris ini adalah hukum, maka ilmu-lmu tersebut dapat dipredikati sebagai ilmu-ilmu empiris hukum. Setidaknya ada dua model penalaran hukum yang dapat dimasukkan ke dalam sudut pandang eksternal disiplin nonhukum ini, yaitu Mazhab Sejarah dan Realisme Hukum.
Pada wilayah Timur condong ke lenggara, terdapat model penalaran Sociological yurisprudence yang memaknai hukum sebagai putusan hakim in-concreto. Model penalaran ini mengambil tempat di antara disiplin hukum dan disiplin nonhukum, tepatnya antara ilmu hukum dogmatis dan ilmu empiris hukum. Dalam Bab III telah ditegaskan bahwa Sociological Jurisprudence mempunyai perbedaan titik berpiiak dan sudut pandang dengan sosiologi hukum, sehingga tidak mungkin memasukkan modal penalaran ini sepenuhnya ke dalam cakupan aktivitas studi sosiologi hukun. Sociological jurisprudence adalah studi hukim yang menggunakan pendekatan dari hukum ke masyarakat, sementara pendckatan sosiologi hukum adalah sebaliknya. Di sisi lain, Sociological Jurisprudence juga tidak dapat diklasifkasikal seratus persen ke dalam studi ilnu hckum dogmatis karena pada penalarannya memang tidak sepenuhnya mengikuti sumber sumber hukum otoritar yang diterapkan secara doktrinal-dedukrif (Positivisme ' ukum) atau doktrinal-deduktif dikuti nondoktrinal-induktif (Utilitarianisme).
Model penalaran Sociogical Jurisprudence tidak dapat menerima asumsi bahwa hukum harus selalu berjalan di belakang fakta. Dalam perkcmbangannya, norma hukurn positit tidak lagi sekadar bertungs sebagai sarana tertib sosial (soial oder) dan sumber penyelesaian sengketa (dispute settlement), melainkan juga sebagal instrumen perekayasaan sosial (social enginering). Dalam fungsinya sebagal perekayasaan (pembaruan) sosial, norma hukum tidak lagi diletakkan di belakang fakta, melainkan di depan kenyataan. Inilah yang oleh B. Ariet Sidharra, seperti telah dikutip di muka, dikatakan bahwa hukum tidak hanya dlkondisikan melainkan juga mengkondisikan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar