BAB V ASPEK ONTOLOGIS
IImu hukum merepresentasikan aspek ontologis penalaran akibat kesenenjangan dari dualisme. Bedanva dengan model penalaran yang ditawarkan oleh Konstruktivisme Kritis. ilmu hukum justru lebih berkonsentrasi untuk mengatasi permasalahan yang konkret (action problem). bukan yang berada dalam tataran ilmiah (science problem). Hal ini terutama terkait dengan corak lmu hukum sebagai ilmu praktis. Konkretisasi dari permasalahan yang menjadi obiek telaah ilmu-ilmu hukum itu ditunjukkan oleh kasus-kasus yang dihadapi hakim di pengadlan. Dengan demikian penalaran hukum adalah penalaran kasuistis. Hal ini sangat relevan dengan pandangan American Sociological yurisprudence yang memaknai hukum sebagai putusan hakim in concreto.
Sekalipun penalaran dalam ilmu hukum terfokus pada permasalahan dalam tataran konkret, ia membutuhkan kerja sama dengan cabang disiplin hukum lainnya (teori dan filsafat hukum) dan disiplin nonhukum. Kerja sama multidisipliner ini mempunvat pengaruh dari segi ontologis, mengingat masing masing disiplin member pemaknaan terhadap hukum sebagai objek telaah itu secara berbeda-beda.
Sebagaimana disinggung oleh B. Arief Sidharta, hukum adalah gejala dalam kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, yang mempunyai banyak aspek, dimensi dan faset. Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya teknologi, keagamaan, dan sebagainya), dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat. Bentuknya ditentukan oleh nasyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sitat-sifat masyarakat itu sendiri. Dalam dinamikanya, hukum itu dikondisikan dan mengkondisikan masyarakat.
Oleh sebab itu, pada saat orang berbicara tentang karakteristik penalaran hukum, yang pertama-tama perlu diklarifikasi adalah pada tataran dan konteks mana penalaran hukum itu ingin diposisikan. Kemajemukan (multiaspek, multidimensi, dan multifaset) dari hukum tersebut, dari sisi ontologis menelurkan pemakiaan hukum vang sangat beragam. lataran yang dimaksud mencakup: (1) ilmu hukum dogmats, yang konteksnya nasional; (2) teori hukum; (3) filsafat hukum; dan (4) ilmu-ilmu empiris hukum.
Ide dasar dari Positivisme Hukum dan Utilitarianistne tidak pernah menyinggung kreativitas" subjek penalar hukum seperi itu penalar hukum, khususnya hakim menurut pandangan mereka, adalah sekadar menjadi corong undang-undang. Semua norma positif dalan Sistem perundang-undangan itu tersedia lengkap, dan menunggu hakim menemukan aktivatornya, yaitu kasus konkret, dan selanjutnya keduanva dipertemukan secara silogistis. Padahal ketidakterberian (not giten) yang terdapat pada premis-premis itu secara teknis menyebabkan silogisme tadi berlangsung tidak satu arah. Ada pola-pola yang menunjukkan arah berpikirnya munduc ke belakang (backuard thinking). Semua itu dilakukan agar struktur premis-premis itu akhirnya dapat disuguhkan ke khalayak umum sebagai bentuk silogisme. Menariknya, apa yang dilakukan oleh hakim dalam situasi konkret
seperti itu (mengkreasikan struktur aturan dan fakta) sebenarnva justru sesuai dengan Positivisme Logis atau Empirisme Logis. Sayangnya, praktik yang dilakukan ini tidak diakui menurut ide dasar positivisme Hukum dan Utiltarianisme. Secara ontologis, objek telaah kedua model penalaran tersebut (Positivisme Logis dan Empirisme Logis), memang sama-sama tidak hadir secara terberi (given), melainkan harus dikreasikan. Aspek ontologis dari objek telaah itu harus bersifat materialis (realitas vang terobservasi secara inderawi dan dapat dipahami rasio), bukan scsuatu yang netahsis.
Perbedaan selanjunya Positivisme Logis dan Empirisme Logis dengan Positivisme Hukum dan Utilitarianisme juga terjadi pada aspek epistemologis dan aksiologis sebagaimana akan dibahas pada bagian lain dari tulisan ini. Demikianlah, akhirnya kita dapat melihat bahwa Positivisme Logis dan Empirisme Logis memang tidak sejalan dengan karakteristik ilmu hukum dogmatis dan model penalaran Positivisme Hukum atau Utilitarianisme. Juga demikian halnya, kedekatan Positivisme Hukum dan Utilitarianisme seyogyanya tidak diarahkan kepada Positivisme Logis dan Empirisme Logis, melainkan kepada model penalaran lain. Positivisme Hukum dan Utilitarianisme harus diperbandingkan dengan model penalaran lain, dan untuk itu ditemukan suatu model lain yang mendekati yakni Rasionalisme Kritis.
Sebagai ilmu yang berkarakter nasional, ilmu hukum dogmatis membentuk sumber-sumber hukum otoritatit selengkap mungkin. Sumber-sumber ini adalah produk terberi (given) yang mengikat i secara normatif bagi seluruh masvarakat dalam lingkup nasional yang bersangkutan. Hukum pun dimaknai sebagai norma positit dalam sistem perundang-undangan.
Sejalan dengan pola penalaran yng juga diterapkan dalam Rasionalisme Kritis, ilmu hukum dogmatis ini menerapkan logika Positivisme Hukum, yakni secara doktrinal-deduktif terhadap setiap peristiwa konkret yangi dianggap mempunyai akibat hukum. Untuk itu, sumber-sumber hukum otoritatif itu harus sudah tersedia lebih dulu. Selama belum tersedia, berarti peristiwa konkret itu bclum mempunyai akibat hukun (bukan peristiwa i hukum). Cara berpikir demikian diakomodasi menjadi satu asas penting idalam Positivisme Hukum, yaitu asas legalitas.
Tatkala struktur kenyataan-kenyataan sosial masih sederhana, asas legalitas seperti disinggung di atas mungkin dapat diterapkan secara konsisten, dengan asumsi bahwa norma hukum dalam sistem perundang undangan relatif telah cukup lengkap mengatur setiap peristiwa hukum. Dalam kenyataannya struktur sosial berkembang sangat dinamis, dan arah perkembangannya tidak selalu sesuai deugan nilai-nilai yang dikehendaki bersama. Pemaknaan hukum di luar norma positif dalan sistem perundang undangan inilah yang akhirnya diakomodasi sebagai karakter penalaran hukum lainnya, yang tidak berada dalam tataran ilmu hukum dogmatis lagi melainkan pada tataran teori hukum.
Komentar
Posting Komentar