BAB V KARAKTERISTIK PENALARAN HUKUM
Model penalaran [American] Sociological Jurisprudence menempatkan pengemban hukumnya dalam posisi unik. Hakikat hukum dalam kaca mata Sociological Jurisprudence adalah putusan hakim in concreto. Sekalipun demikian, hakim dalam pandangan model penalaran ini tidak perlu berpegang teguh pada sistem hukum positif. Ia dapat menyimpang dari sistem hukum positif itu, mirip seperti yang dilakukan pengemban hukum teoretis atau penstudi hukum dari disiplin norhukum. Posisi inilah yang membuatnya herada di aniara partisipan (medespeler) dan pengamat (toeschouwer).
Dalam batasan tentang penalaran hukum diatas juga disebuukan bahwa subjek ya lg melakukan penalaran ini memposisikan dirinya sebagai subjek hukun. Ungkapan itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa yang primer dalam penalaran hukum adalah subjek yang melakukan penalaran, baru kemudian objek telaahnya. Problematika yang muncul sebagai objek telaah adalah peristiwa konkret, namun tidak setiap peristiwa konkret merupakan peristiwa yang berakibat hukum.
Subjek hukum ini adalah selalu manusia. Dewasa ini memang dikembangkan teknologi yang dianggap memiliki kecerdasan buatan (artifcial intelligence), seperti sedang giat di ikhtiarkan oleh ilmu komputer. Penalaran hukum tidak mencakupi "penalaran" dari teknologi berkecerdasan buatan ini. Setiap manusia subjek hukum pada hakikatnya mempunyai kemampuan melakukan penalaran hukum ini. Dalam ilmu hukum diterima luas suatu prinsip bahwa hanya manusia yang sehat rohaninya yang dapat dibebani kewajban hukum (competence, bekwaamheid). Manusia yang tidak sehat rohaninya dianggap tidak dapat bernalar secara baik, sehingga ia tidak mungkin diberi tanggung jawab yang sama seperti subek hukum pada umumnya.
Kendati manusia pada umumnya berkemampuan melakukan penalaran hukum, ada subjek-subjek hukum tertentu yang memang diberi ewenangan dan tugas oleh hukum untuk melakukan penalaran hukum, yakni sebagaimana disandang oleh para pengemban hukum praktis. Bagi pengemban hukum teoretis, kewenangan demikian tidak diberikan oleh hukum, melainkan oleh komunitas ilmiah (peer group) masing-masing. Kewenangan itu mengelawantah menjadi otoritas lmiah. Kekuatan komunitas ilmiah ini demikian berpengaruh terhadap penerimaan dan keterimaan suatu imu sebagaimana telah dinyatakan Thomas Kuhn dalam paparan Bab II.
Dalam kegiatan penalarannya, subjek hukum ini mendudukkan dirinya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Kata "individu" di sini digunakan untuk membeil artikulasi bahwa penalaran hukum memang merupakan kegiatan individual (personal). Seluruh model-model penalaran yang ditampilkan baik dalam Bab II maupun Bab III menunjukkan bahwa pola penalaran yang terjadi tidak hanya mengandalkan satu modalitas seperti rasio sala, intuisi sala, atau empiri (inderawi) saja. Setiap penalaran senantiasa menggunakan gabungan berbagali moralitas. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi atas modalitas-modalitas ini sangat terkait dengan latar belakang masing-masing individu subjek hukum yang melakukin penalaran.
Karakteristik multidisipliner ilmu hukum tercermin terutama dalam pola penalaran yang digunakannya. Kasus Kedung Ombo merupakan contoh yang menarik untuk menggambarkan tenomena ni.
Penalaran hukum dalam kasus Kedung Ombo pertama-tama tentu perlu melihat pada ilmu hukum. Dari disiplin bernma iimu hukum ini terhubung sistem hukum positif Indonesia. IImu hukum ini dikenal dengan sebutan ilmu hukum dogmatis. Di situ ada hukum material yang terikat, klususuya hukum araria dan perdata. Proses penalarannya juga membutuhkan hukum acara perdata, khususnya bidang hukum pembuktian. Alat-alat bukti seperti dokumen dan kesaksian adalah sumber-sumber penting bagi si penalar dalam rangka membangun struktur fakta.
Area ilmu hukum dogmatis lainnya adalah hukum tata negara. Klasifikasi hukum tata negara dewasa ini telah mengalami banyak perubahan. Ada yangi berpendapat balhwa hukum administrasi negara adalah pecahan dari hukum tata negara, namun di sisi lain ada pandangan yang menyakini keduanya sebagai dua caang ilmu yang sejaiar. Georg Jellinek bahkan membuat sistematika lain denga berpendapat bahwa induk dari kedua bidang hukum itu adalah Saatuissenschaf dalam artiluas (ilmu kenegaraan).
Komentar
Posting Komentar