HUKUM PENALARAN
A. PENGANTAR
Kata “hukum” dalam “hukum penalaran” mengandung makna sebagai dalil-dalil yang digunakan dalam proses penalaran. Untuk membahas hukum penalaran dalam perspektif yang lebih sempit, terlebih dulu tentu perlu dibatasi sudut pandang yang akan dipakai sebagai alat teropong. Dalam konteks pembatasan sudut pandang tersebut kemudian dipilih perspektif hukum penalaran menurut kaca mata kelompok ilmu-ilmu serta periodisasi modern dan posmodern.
Hukum-hukum penalaran yang ingin diperlihatkan dalam pembahasan ini tersaji dalam model-model penalaran dari aliran-aliran yang dikenal luas. Aliran-aliran tersebut menyajikan karakteristik penalaran menurut sudut pandang dan aspek-aspek tertentu. Dengan kondisi tersebut, sudah dapat diprediksikan bahwa hukum-hukum penalaran tersebut tidak mungkin tampil seragam. Hukum-hukum penalaran itu muncul karena ada karakteristik dan kebutuhan khas (konteks) keilmuan dari [kelompok] ilmu-ilmu yang bersangkutan.
B. SUDUT PANDANG
Mengingat terminologi “hukum penalaran” itu sendiri dapat dilekatkan pada berbagai dimensi, maka ruang lingkup deskripsi hukum penalaran tersebut perlu dibatasi, antara lain dengan menetapkan sudut pandang yang dipakai sebagai alat teropong. Dalam konteks sudut pandang tersebut, oertama dipilih perspektif hukum penalaran menurut kaca mata kelompok ilmu-ilmu. Posisi pandang ilmu-ilmu sangat menetukan pendekatan masing-masing dalam melakukan aktivitas penalarannya.
Hukum penalaran yang melekat pada ilmu-ilmu tersebut ternyata juga tidak statis menghadapi perubahan masa. Sudut pandang akibat dinamika “sangkala” tersebut diwakilkan oleh uraian tentang masa modern dan posmodern.
1. Kelompok Ilmu-Ilmu
Ilmu (sains) dapat diartikan secara luas atau sebaliknya. Denotasi ilmu mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian ilmu tersebut. Sementara konotasi adalah luas lingkungan realitas yang ditunjuk dengan pengertian tersebut. Samuel Johnson menyebutkan unsur0unsur ilmu sebagai berikut :
a. Knowledge;
b. Certainty grounded on demonstration;
c. Art attained by percepts, or built on principles;
d. Any art or species of knowledge;
e. One of the seven liberal arts.
Konstelasi ilmu-ilmu dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu ilmu formal dan ilmu empiris. Ilmu-ilmu formal tidak memfokuskan diri pada gejala-gejala faktual sebagai objek kajiannya. Sebaliknya yang terjadi pada ilmu-ilmu empiris. Oleh karena itu ilmu formal digunakan sebagai sarana untuk membantu analisis ilmu empiris.
Ilmu-ilmu empiris dibedakan menjadi dua kelompok, yakni ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). A.G.M. van Melson menyebutkan kekhasan ilmu alam yang mengacu pada dua ciri. Pertama, ilmu-ilmu alam melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi secara langsung. Kedua, ilmu-ilmu alam mengandalkan pada objeknya suatu determinisme, sedemikian rupa sehingga suatu aksi tertentu mutlak perlu menampilakn reaksi tertentu.
Ilmu-ilmu kemanusiaan ini pada dasarnya juga menggunakan bahan-bahan yang dikumpulkan secara empiris, namun tetap ada kekhasan yang sangat mencolok yang membedakannya dengan ilmu-ilmu alam. Pada ilmu-ilmu kemanusiaan, ruang (spatio) dan waktu (temporal) tidak dimaknai secara univok melainkan harus secara analog karena masing-masing ruang dan waktu memiliki keunikan yang tidak mungkin digeneralisasi dan diukur dengan memakai sistem statistik, satuan, dan lain sebagainya.
2. Modern dan Posmodern
Dalam periodisasi filsafat, istilah “modern” diberikan untuk suatu rentang waktu yang berawal pada abad ke-16. Menurut Bertrand Russell, ada dua hal terpenting yang menandai awal sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas ilmu. Ilmu pada era modern dapat dikatakan “sukses” membangun dirinya karena berhasil memperkuat sendi-sendi epistemologisnya. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan inti dari filsafat Zaman Modern adalah epistemologi itu sendiri. Hingar bingar polemik antara Positivisme dan Empirisme Logis dan Rasionalisme Kritis adalah contoh konkret dari dominasi wacana epistemologis ini.
Pandangan ini berlangsung sampai abad ke-20, hingga akhirnya dikoreksi total oleh kaum posmodernis. Richard Rorty yang dengan jeli melihat inti permasalahan epistemologis yang telah mentradisi sepanjang Zaman Modern tersebut. Bagi eksponen posmodern, epistemologis tidak lagi layak dianggap sebagai fondasi yang menetapkan dasar kesahihan sekaligus batas-batas kesahihan pengetahuan. Posmodernis selanjutnya mengkritik keras prinsip-prinsip tradisional keilmuan yang menjadi trademark Zaman Modern.
Komentar
Posting Komentar