LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM
A. PENGANTAR
Penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir probematis. Kegiatan berpikkir ini berada dalam wilayah praktis. Ada dua jenis berpikir argumentasi,yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis) dan berpikir problematis. Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses berpikir yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak diragukan, melalui mata rantai yang bebas-ragu, sampai pada kesimpulan yang mengikat (konklusif). Proses ini menurut B. Arief Shidarta mengacu pada model pengetahuan yang pasti. Sedangkan berpikir problematis adalah berpikir dalam suasana yang didalamnya tidak ditemukan kebenaran bebas-ragu. Menurut tipe argumentasi ini, masalahnya bergeser dari hal “apa yang konklusif” menjadi “apa yang paling diterima”.
Penalaran hukum adalah kegiatan berpikir probematis dari subek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prektabilitas dari putusannya dengan mengacu pada sistem hukum positif. Pada dasarnya semua subjek hukum mampu melakkan penalaran hukum ini, namun aktivitas yang terfokus seperti itu secara intens merupakan ladang begelut para pengemban hukum, lebih khusus lagi di sini adalah para hakim sebagai pengambil keputusan untuk kasus-kasus konkret di lembaga yudikatif.
B. SUDUT PANDANG
Pola-pola penalaran hukum sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek yang melakukan kegiatan penalaran. Uraian tentang sudut pandang di bawah ini mencakup dua kategori. Pertama, pembedaan sudut pandang penalaran hukum dilihat dari aspek makro yaitu sudut keluarga sistem hukum. Kedua, pembedaan tersebut didasarkan pada sudut pandang partisipan dan pengamat.
1. Keluarga Sistem Hukum
Secara sederhana kata “sistem” berarti sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Banyak unsur yang terjalin dalam suatu sistem. Sudikno Mertokusomo mengibaratkan sistem hukum sebagai gambar mozaik, yang tiap-tiap bagian tidak dapat berdiri sendiri lepas hubungan denngan yang lain, tetapi kait mengait dengan bagian lainnya.
Sisem hukum yang akan diuraikan adalah sistem terbuka yang dalam arti dipengaruhi dan mempengaruhi sistem-sistem lain di luar hukum. Keluarga sistem hukum memainkan peranan penting dalam menentukan model penalaran yang disajikan dalam kerangka orientasi berpikir yuridis.
Di dunia ini biasanya dikemukakan ada tiga keluarga sistem hukum, yaitu (1) civil law system, (2) common law system, dan (3) socialist law system. Kelompok yang ketiga sering tidak disinggung secara khusus karena dianggap berakar pada civil law system. Di luar tiga kelompok itu, ada kategori lain yang biasa disebut keluarga sistem hukum bertradisi campuran.
Ada sejumlah faktor yang dapat dijadikan indikator untuk menggolongkan sistem hukum negara-negara tertentu menjadi satu keluarga tersendiri, yaitu :
a. Latar belakang sejarah dan pembangunan sistem hukumnya
b. Karakteristik khas dari cara berpikirnya
c. Pranata-pranatanya yang berbeda
d. Jenis-jenis sumber hukum yang dikenal dan penggunaannya
e. Ideologinya
Sejalan dengan ditempatkannya undang-undang sebagai sumber hukum utama dalam keluarga sistem civil law, maka dengan sendirinya pembentuk undang-undang memiliki peranan penting untuk menetapkan corak sistem hukum positif negara tersebut. Para ahli hukum dari keluarga system civil law berada dalam pemikiran bahwa “law as it is written in the books”. Di sisi lain, dalam keluarga sistem common law justru keaktifan dituntut datang dari para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam menghadapi situasi terberi di pengadilan.
2. Penstudi Hukum
Perbedaan penstudi hukum yang penting adalah antara “partisipan” dan “pengamat”. Partisipan (medespeler) adalah penstudi hukum sekaligus pengemban hukum, sedangkan pengamat (toeschouwer) adalah penstudi hukum tetapi bukan pengemban hukum. Pengembanan hukum adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat. Berdasarkan tataran analisisnya, pengembanan hukum dibedakan menjadi tiga tingkat abstraksi, yaitu (1) ilmu hukum, (2) teori hukum, dan (3) filsafat hukum.
C. ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS
1. Aspek Ontologis
Secara ontologis, ilmu hukum atau disiplin hukum pada umumnya terikat pada satu pertanyaan utama, yakni tentang apa hakikat hukum. Kajian ontologis terhadap hakikat hukum secara garis besar dapat dipetakan kepada lima butir pengertian. Soetandyo Wignjosoebroto menunjukan lima pemaknaan hakikat hukum itu, sebagai berikut :
a. Asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal,
b. Norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara,
c. Putusan hakim in-concreto, yang tersistematisasi sebagai judge made law,
d. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik,
e. Manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka.
Hakikat hukum dapat diartikan sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal, yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto merupakan karakteristik penalaran yang berorientasikan filsafat. E. Sumaryono mengatakan “kebenaran hukum” disini dapat dibaca sebagai “validitas hukum”. Hakikat hukum dilihat dari aspek formalitasnya maupun substansinya merupakan realitas kodrati. Pengertian ini berangkat dari asumsi bahwa segala sikap dan perilaku manusia dalam kehidupannya wajib tunduk pada suatu sistem moralitas yang bersifat kodrati.
Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa pemaknaan hukumm sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan kodrati ini merupakan karakteristik penalaran yang berorientasikan filsafat. Dapat dilihat bahwa pengertian hukum demikian adalah ciri khas Aliran Hukum Kodrat. Pemaknaan hukum ini lebih merupakan pemaknaan hukum menurut pengemban hukum partisipan (medespeler)
Pemaknaan kedua tentang hakikat hukum adalah dengan menyatakan hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara. Untuk memahami pemaknaan hukum sebagai norma positif tersebut, terutama harus memahami konsep-konsep tentang timbulnya negara. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, pemaknaan hukum seperti diatas disukai oleh para ahli hukum (yuris) Kontinental.
Pemaknaan hakikat hukum berikutnya mulai menerobos batas-batas yang disebut yuridis-normatif yang formal-lugas-netral itu ala kebanyakan ahli hukum dari keluarga sistem Civil Law. Hakikat hukum yang termasuk kategori empiris ini pertama-tama adalah hukum dalam arti putusan hakim in-concreto yang tersistematis sebagai judge-made-law, posisinya berada diantara pengemban hukum partisipan (medespeler) dan pengamat (toeschouwer). Menurut konsep ini, hukum tidak lagi bersifat apriori (mendahuli kenyataan) tetapi sudah ke tahap aposteriori (mengikuti kenyataan).
Pemaknaan hakikat hukum yang keempat adalah hukum sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Pemaknaan ini menggunakan pendekatan kultural, bahwah hukum bukanlah kreasi penguasa politik melainkan adalah fenomena budaya seperti halnya bahasa.
Sementara pemaknaan hukum yan kelima adalah hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka. Cara memaknai hukum seperti ini tidak dapat dipisahkan dari Eksistensialisme sebagai suatu aliran besar yang melanda filsafat pada abad ke-20.
Eksistensialisme bertolak dari pemikiran bahwa manusia yang konkret adalah manusia yang eksis secara individu, sehingga ia tidak mengenal konsep manusia pada umumnya.
2. Aspek Epistemologis
Menurut Kenneth J. Vandevelde salah satu frasa untuk berpikir seperti hakim adalah tentang metode yang digunakan, hal ini masuk kedalam kategori epistemologis. Metode yang dimaksud dalam konteks ini adalah hal-hal yang terkait dengan cara-cara penarikan kesimpulan dalam suatu proses penalaran hukum. Pengertian penalaran hukum telah dipersempit menjadi penalaran hakim tatkala yang bersangkutan menghadapi suatu kasus konkret.
Sudikno Mertokusumo mengakan bahwa seorang sarjana hukum khususnya hakim selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the powerof solving legal problem), yakni merumuskan masalah hukum (legal problem indentificcation), memecahkannya (legal problem solving), dan mengambil keputusan (decision making).
Dari beberapa pandangan ahli hukum mengenai langkah-langkah penalaran hukum, dapat disimpulkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
a. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi.
b. Menghubungkan (mensubsumi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term).
c. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu sehingga dihasilkan suatu struktur aturan yang koheren.
d. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus.
e. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin.
f. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
3. Aspek Aksiologi
Uraian tentang aspek aksiologi dalam konteks ini berhubungan dengan tujuan dari aktivitas penalaran hukum. Penalaran hukum memiliki misi tertentu yang dapat di koheren dengan aspek ontologis dan epistemologis dari penalaran hukum itu sendiri.
Tujuan hukum sering dirancukan dengan fungsi hukum atau tugas hukum. Fungsi hukum mengacu pada peranan yang diemban oleh hukum. Ini berbeda dengan tujuan hukum yang menitikberatkan pada arah yang akan dicapai dari berfungsinya hukum. Penalaran hukum lebih berelevansi dengan tujuan hukum daripada fungsi hukum. Gustav Radburch membagi tujuan hukum menjadi tiga, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan.
Keadilan merupakan aspek aksiologi yang paling sulit untuk dijelaskan. Ulpianus (sekitar 200M) melahirkan suatu definisi bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg untuk memberikan kepada masing-masing menurut bagiannya. Konsep ini diambil alih oleh Kitab Hukum Justitianus. Keadilan merupakan posisi paling ideal dalam aspek aksiologis dari hukum. Keadilan merupakan konsep filsafat, sehingga nafas dan keberlakuan filosofis suatu norma hukum adalah ada tidaknya keadilan di dalamnya.
Berbeda dengan kepastian hukum, yang sebenarnya lebih mengacu pada pendekatan yuridis formal. Kepastian hukum mengacu pada konsep yuridis karena memang norma itu telah memenuhi syarat-syarat prosedural untuk ditetapkan sebagai hukum. Kepastian hukum hanya mungkin dicapai bila daya predikribilitas penerapannya tinggi. Artinya setiap subjek hukum harus mempunyai keyakinan bahwa apabila terjadi suatu kasus berkenaan dengan suatu norma hukum, maka ia dapat memperkirakan konklusi atau putusan yang akan ia terima.
Kemanfaatan adalah aspek aksiologi yang lain dari hukum. Kemanfaatan berdimensi pragmatis. Teori-teori kemanfaatan kontemporer biasanya mempresepsikan konsep ini dengan nilai-nilai ekonomis dapat dicapai, tidak lagi sekedar kebahagiaan untuk jumlah masyarakat yang terbesar.
Sekelompok ahli hukum mencoba membawa analisis matematis untuk mengkuantifikasi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pendekatan metodologis ini dikenal dengan sebutan jurimetika (jurimetri). Inti dari pendekatan jurimetrika adalah dengan membuat taksirantaksiran kemungkina (probabilitas), khususnya dengan alat bantu statistik.Istilah jurimetrika sendiri diperkenalkan oleh Lee Loevinger yang menekankan pada pentingnya metode ilmiah yang diidentifikasikannya sebagai metode kuantitatif bagi para ahli hukum.
Komentar
Posting Komentar