MODEL PENALARAN UNTUK KONTEKS KEINDONESIAAN (ASPEK ONTOLOGIS)
Bagi bangsa Indonesia, pemaknaan hukum pun menunjukkan sisi yang sama kompleksiya. Pluralisme hukum di Indonesia adalah fenomena paling kasat mata dari kompleksitas itu. Di sana sedikitnya terdapat subsistem hukum adat, Islam, dan Barat, menyertai keberadaan sistem hukum nasional yang tengah dbangun. Masing-masing komponen yang membentuk mozaik dalam sistem hukum nasional itu memiliki karakteristik tersendiri. Sutan Takdir Alisjahbana, seperti telah diuraikan dalam Bab IV, telah memperlihatkan masing-masing kelebihan/kekurangan dari komponen tadii dari sudut nilai-nilai yang diembannya.
Berdasakan penjelasan Alisjahbana itu, ditambah dengan uraian tentang perjalanan historis sistem hukum di Indonesia (Tabel IV-3), dapat disebutkan sejumlah model penalaran yang pernah menjadi mainstream kerangka orientasi berpikir yuridis di Indonesia.
Pertama, model penalaran Mazhab Seiarah, yang diwakilli selamai periode Indonesia asli (menurut istilah yang diberikan oleh Alisjahbana), yang kemudian ingin diaktulisasikan kembali oleh pendukung hukum adat setelah pemerinah kolonial Belanda mengintroduksi politik etis (periode 1890-1942). Secara sporadis, kerangka orientasi berpikir yuridis versi Mazhab Sejarah ini muncul dalal sejumlah episode pasca kemerdekaan, antara lain masa Demokrasi terpimpin yang mencanangkan politik berdikari dan anti-asing (baca: Barat). Hukum adat digali kembali dan sempat dijadikan acuan, misalnya dalam lapangan hukum agraria (diakomodai dalam UUPA Tahun 1960). Sekalipun demikian, ambigu dalam arah pengembanan hukum pada masa itu membuat model penalaran ini tidak menonjol. Hal ini dapat dimengerti karena pembangunan sistem hukum sendiri ditempatkan sebagai subordinasi pembangunan bidang politik (demi revolusi yang belum selesai). Semangat sentralistis pada jaman Orde Baru juga menghasilkan kondisi yang sama terhadap model penalaran ini. Kajian-kajian antropologi hukum sebagai tulang punggung pengembangan model penalaran Mazhab Sejarah tidak banyak dilakukan lagi, sekalipun di lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum pelajaran tentang hukum adat masih tetap diberikan dengan menggunakan bahan-bahan yang tidak lagi mutakhir (out-of-date).
Kedua, model penalaran Aliran Hukum Kodrat. Kerangka orientasi berpikir yuridis ini biasanya muncul secara terbatas dalam ranah-ranah hukum yang non netral, seperti perkawinan, waris, zakat, dan wakat. Pengadilan di lingkungan peradilan agama tetap dibiarkan eksis dan para hakimnya bekerja terutama dengan berpegang pada sumber-sumber otoritatif dalam agama Islam. Dewasa ini, acuan agama sebagai model penalaran hukum makin signifikan setelah daerah-daerah diberi kewenangan lebih besar (otonomi daerah). Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, diberi situasi khusus dengan memberlakukan syariah Isam bagi masyarakat Muslim di sana, sesuatu yang belum pernah dilakukan pada periode pemerintahan pemerintahan sebelumnya. Lembaga-lembaga agama yang berskala lokal diberi peran lebih besar untuk membuat kebijakan publik (politik hukum) bagi daerah setempat.
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Raru, kedudukan hukum Islam Juga menguat memasuki ranah-ranah hukum netral yang sejak lama telah terunifakasi. Contoh paling penting mengenai hal ini adalah dimasukkannya delik-delik kesusilaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang diakui oleh sejumlah pihak sangat kuat bersendikan hukum Islam.
Ketiga, model penalaran Positivisme Hukum, yang dapat dikatakan mendominasi perjalanan sejarah sistem hukum di indonesia terhitung sejak ada kebijakan de beunste rechspolitick dicanankan oleh pemerintah kolonial Beianda (1840). Selama pemerintahan rezim Orde Lama dan Orde Baru, model penalaran ini diteruskan. Ulasan tentang hal ini telah diberikan pada Bab IV, termasuk variasi model ini ke bentuk lain yang disebut Utilitarianisme.
Di tengah-tengah periode pemerintahan Orde Baru, diintroduksikan satu model penalaran hukum" baru yang disebut Teori Hukum Pembangunan. Teori ini dapat dianggap sebagai tawaran alternatif baru bagi pengembanan hukum Indonesia, yang sayangnya tidak banyak mendapat perhatian dari penstudi hukum di Indonesia. Kajian untuk mengkritisi teori ini sedikit sekali dilakukan dan kontribusinya untuk mengubah politiki hukum sepanjang pemerintahan Orde Baru, tidak terlalu diperhatikan. Rumusan-rumusannya yang senada dengan rekomendasi teori ini dapat saja dituangkan dalam produk-produk hukum setingkat ketetapan MPR namun pengejawantahannya dalam pengembanan hukum praktis hampir tidak terlihat. Bahkan, Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa hukum di Indonesia pada akhir Abad ke-20 benar-benar secara sempurna menjadi gonernment social control dan berungsi sebagai tool of social engineering.
Dari aspek ontologis, model penalaran hukum yang sesuai dengan konteks keindoesiaan dewasa ini adalah model dengan pemaknaan hukum semangat pengabaian hukum dan anarkisme yang saat ini telah sampai dilakukan jika pengejawantahan hukum tetap dimunculkan dalam format yang paling eksplisit dan kasat mata. Format dimaksud tidak lain adalah Pemaknaan hukum secara demikian memang menempatkan titik singgung model penalaran yang ditawarkan di atas dengan Positivisme peruaikan kinerja pengembanan hukum memang memerlukan pemaknaan hukum yang paling dikenali (familiar). tidak saja bagi masyarakat luas melainkan juga bagi para pengemban hukum itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar