MODEL PENALARAN UNTUK KONTEKS KEINDONESIAAN (ASPEK EPISTEMOLOGIS)

Positivisme Hukum menggunakan sepenuhnya pola penalaran deduksi.Teori Kehendak yang dimotori oleh Analytical Jurisprudence dari John Austin memang membahas tentang adanya unity of will yang kemudian bermuara menjadi unity of enforcement. Secara teoritis, Positivisme Hukum tidak menyinggung pendekatan seperti diutarakan Austin karena hal itu bertentangan dengan penekanan sifat dogmatis yang ingin tetap dipertahankan oleh Positivisme Hukum. Model peralaran ini seperti ingin memotong rangkaian pola penalaran itu dengan memulainya langsung dari pemaknaan hukum sebagai perintah (command) dari pemegang kekuasaan publik. Hal ini dapat dimaklumi karena jika norma positif i tu dipersoalkan penggaliannya, misalnya dari pengalaman-pengalaman empiris, maka norma positif itu telah berubah karakternya dari apriori menjadi aposteriori. Untuk tetap mempertahankan sisi dogmatis dengan pola penalaran doktrinal-deduktif itu, sisi aposteriori ini dimunculkan setelah norma positif tersebut diterapkan di lapangan. Inilah yang justru diperhatikan secara jeli oleh Utilitarianisme.
Sesuai dengan karakter yang melekat dalam tradisi keluarga sistem civil law, sistem hukum Indonesia tidak dapat menghindarkan diri dari penekanan fungsi organisasi legislatif sebagai tulang punggung pembentukan norma-norma positif tersebut. Sekalipun demikian, fungsi organisasi lainnya, khususnya peradilan tidaklah kecil. Fungsi ini berjalan sebagai salah satu bentuk aktivitas paling konkret dari penerapan atas norma-norna positif tersebut. Sekalipun demikian, hakim tidak boleh terjebak dalam pemutlakan penggunaan logika doktrinal-deduktif seperti yang terjadi dalam Positivisme Hukum dan Uilitarianisme. Pola penalaran dari model ideal ini memberi pesan tentang masih adanva sumber-sumber hukum yang tidak terakomodasi ke dalam norma-norma positif  dalam sistem  perundang undangan. Artinya, seteah hakim menemukan bahwa dengan pola penalaran doktrinal-deduktif tidak berhasil ia temukan penyelesaian yang baik, maka ia harus melanjutkan pola pencapaiannya dengan melakukan pola penalaran Simultan menggunakan pendekatan Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis seperri diuraikan di muka. Dengan dcmikian, hakim tidak semata- mata menjadi corong undang-undang melainkan juga evaluator atas ketentuan norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan.
Evaluasi yang dilakukan hakim adalah aktivitas penalaran hukum yang problematis-kasuistis. sehingga ciri personalnya tidak mungkin  dihilangkan. Evaluasi yang bertentangan dengan norma-norma positif dalam sistem perundang undangan memang berlaku secara kasuistis,  namun harus di ingat bahwa putusan hakim ini adalah bentuk evaluasi yang paling signifikan dalam memotret kesenjangan antara teori dan "empiris" Hasil evaluasi yang dituangkan dalam putusan pengadilan, sekalipun isinya bertentangan dengan undang-undang (dalam konteks ini berarti teori tetap wajib dihormati berdasarkan asas res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar). Dengan masih belum diterimanya asas preseden yang mengikat (the bindine force of precedent) dalam hukum acara Indonesia, juga tidak lalu berarti evaluasi demikian menjadi kurang maknanya. Putusan hakim yang disandarkan kepada pertimbangan hukum yang benar dan cerdas, akan menjadi wacana publik (public discourse) yang mengawali gerakan simultan dari pendalaman penalaran hukum dengan melibatkan sebanyak mungkin penstudi  hukum dan para stakeholders. Tentu Saja, wacana demikian hanya mungkin dilakukan selama akses terhadap putusan-putusan itu disediakan secara cepat, mudah dan murah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI MORAL PROFESI HUKUM

REALISME HUKUM

ANALISIS RECHTVINDING OLEH HAKIM PADA PUTUSAN MK NOMOR. 21/PUU-XII/2014