SOSIOLOGI DAN SOSIOLOGI HUKUM
Mengingat ilmu hukum adalah lmu praktis yang senantiasa dievaluasi oleh kenyataan-kenyataan sosial, maka disiplin nonhukum yang tercatat paling sering memberi dasar-dasat llmiah terhadap evaluasi tersebut adalah sosiolog. Sebagai ilmu sosial, sosiologi adalah ilmu yang sangat muda. Adalah Auguste Comte (1798-1857) yang dianggap sebagai
perintis pertamanya, dengan memperkenalkan dua bagian pokok sosiologi, yakni ocial statistics dan social dynamics." Yang pertama merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara pranata-pranata sosial, sementara yang terakhir meneropong bagaimana pranata-pranata tersebut berkembang sepanjang zaman, yang oleh Comte dibagi menjadi tiga tahap (teologis, metahsis, dan positif).
Sosiologi memotret apa yang terjadi dewasa ini, bukan apa yang seharusnya terjadi. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan prosesproses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Striktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisanlapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagal segi kehidupan bersama, seperti antara kehidupan ekonomi dan poitik, atau hukum dan agama. Salah satu proses sosial yang bersitat tersendiri adalah dalam hal teriadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.
Di Indonesia, kajian-kajian orisinal yang bermuatan sosiologis terwujud dalam kitab-kitab etika, seperti Wulang Reh, yang disusun oleh Mangkunegara IV berdasarkan situasi masyarakat Jawa (Surakarta) padai Saat itu. Konsep-konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, juga dibangun berlandaskan kajian sosiologis masyarakat Indonesia. Sekalipun demikian, penelitian yang lebih komprelensit memang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat, khususnya Belanda seperti Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven, Ter Haar, dan Duyvendak. Menurut Selo Soemardjan, sekalipun kajian kajian ahli-ahli asing ini memuat unsur-unsur sosiologis, kerangkai berpikirnya belum menempatkan sosiologi sebagai ilmu mandiri.
Di lembaga pendidikan, materi sosiolog mula-mula diberikan dii Rechtshogeschool di Jakarta. Namun, sekitar tahun 1934, kuliah-kuliah sosiologi ini ditiadakan karena dianggap pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidaki diperlukan dalam hubungannya dengan pelajaran hukum. Dalam pandangan para guru besar yang menyusun kurikulum tersebut, yang perlu dipelajar adalah hukum positit, yaitu peraturan-peraturan yang berlaku dengan sah pada suatu waktu dan tcmpat tertentu. Apa yang menjadi sebab terjadinya suatu peraturan dan apa yang sebenarnya menjadi tujuannya, dianggap tidak penting dalam pelajaran ilmu hukum. Hal yang dipentingkan adalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menatsirkannya.
Setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1948, perkuliahan sosiologi kembali diberikan, antara lain di Akademi Politik Indonesia di Yogyakarta. Sejak saat itu, sejumah buku sosiologi karya sarjana Indonesia diterbitkan, seperti oleh Djody Gondokusumo dan Hassan Shadily. Namun, penelitian mendalam oleh sosiolog Indonesia yang dilakukan secara sosiologis atas suatu i kelompok sosial tertentu bar muncul sekitar tahun 1902, melalul disertasi Selo Soemardjan berjudul Social Changes in Yoqyakarta. Setelah itu, bermunculan banyak nama yang memperkaya khazanah peneltan sosinlngis di lndonesia, seperti N. Daldjoeni dan Ariet Budiman, sedangkan beberapa peneliti yang secara khusus melakukan kajlan sosiologis terhadap hukum adalah Soerjono Soekanto, Satjipto Rahardjo, dan Soetandyo Wignjosoebroto. Kajian yang menelaah pengaruh struktur sosial dan proses sosial terhadap hukum merupakan arca dari cabang sosiologi yang disebut sosiologi hukum.
Menurut Bruggink, pergkajian sosiologi hukum dapat bertolak pada aliran (stroming) yang disebut sosiologi hukum empris dan sosiologi hukum kontemplatit. Aliran pertama berangkat dari titik berdiri eksternal (berdiri di luar masyarakat) dan mengacu pada teori kebenaran korespondenst, mengkompilasi dan menata material obiek telaahnya (perilaku orang atau kelompok orang) untuk kemudan dengan metode kuantitatit ditarik kesimpulan-kesimpulan tentang hubungan antara norma hukum aan kenyauaan sosial. Metode vang digunakan mendekati metode yang diunakan dalam ilmu-ilmu alam untuk menghasilkan produk penelitian vang seobjiektitf mungkin, sehingga mampu menciptakan gambaran setepat mungkin tentang kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya berhungsi aturan hukum positil. Sebaliknya, sosiologi hukum kontemplatt menganut pendirian bahwa St penstudi harus menjadi bagian darl masyarakat yang dikajinya (posisi internal). Jenis sosiologi ini mengacu pada teori kebenaran pragmatis. lidak seperti sosiolog hukum empiris yang hanya dituangkan dalam proposisi informatif, maka dalam sosiologi hukum kontemplatit proposisinya dapat bersitat informatil, normatit, dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan produknyd dikaji melalui diskursus intersubjektif. Penelitian empiris dalam kerangka perspektit eksternal tetap dipandang penting dalam sosiolog hukum kontemplatil. namun merupakan suatu momen saja dar keseluruhan kegiatan penelitian tersebut.
Saat ini praktis di semua jenjang pendidikan sarjana dan magister ilmu hukum di Indonesia, materi tentang sosiologi hukum telah diberikan sebagal mata kuliah yang berdiri sendiri. Sayangnya, dalam silabus perkuliahan di kedua program studi itu, kajian-kajian aktual, apalagi yang bersifat kontemplatit, tidak banyak dibicarakan.
Kajian sosiologi hukum empiris dan kontemplatif, secara saling melengkapi dalam julah yang memadai, seharusnya memberikan sumbar.gan yang penting bagi ilmu hukum dan penalaran hukum di Indonesia. Pemahaman tentang struktur sosial diperlukan oaik dalam penalaran hukum praktis maupun teoretis. Pada saat Undang-Undang Agraria disusun, misalnya, pembentuk undang-undang menyadari adanya struktur sosial bcrupa golongan-golongan penduduk di Indonesia. Kelompok masyarakat ada yang tunduk pada hukum tanah adat (seperti hak ulayat, gogolan), ada pula yang tunduk pada hukum tanah Barat (sepertii hak eigendon, ertpach). Seorang hakim pun memerlukan pemahaman sosiologi huKum pula tatkala harus memutuskan suatu kasus konkret. Strata sosial yang berbeda di antara para pihak dalam suatu sengketa pertanahan adalah fenomena yang biasa terjadi, misalnya antara pemerintah dan warga sipil seperti terlihat jelas pada kasus waduk Kedung Ombo. Tatkala terjadi perubahan-perubahan sosial, antara lain karena kegiatan pembangunan (baca: pembangunan waduk), pranata-pranata sosial bernama "hukun" ini kemudian dituntut untuk menjadi instrumen bagi dispute settlement, social order, atau bahkan social engineering.
Para penstudi dari disiplin sosiologi dan sosiologi hukum memaknal hukum sebagal pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagal variabel scsal yang empirik. Sosiologi hukum memberi landasan teoretisnya kepada model penalaran Mazhab Scjarah, yang di Indonesia didukung oleh para pengemuka hukum adat. Sosiolog hukum pun memberi pengaruh yang sangat besar pada sistem hukum di Amerika Serikat, sehingga dar wilayah ini para ahli hukumnya kemudian memaknal hukum sebagal judge-made-law, dengan mengkaji law as it is decided by judges through judictal process" Pendekatan ini melahirkan model penalaran Sociological Jurisprudence. Sekalipun titik berangkat sosiologi hukum berbeda dengan Sociological yurisprudence, harus diakul bahwa penalaran hukum yang dilakukan oleh para hakim mendapat pengaruh vang besar dari konsep konsep siologis. Hal ini kemudian memberi jalan kepada pengemban hukum yang menganut model penalaran Sociological urisprudence, seperti halnya klaim para hakim di Amerika Serikat, untuk ditempatkan pada posisi partisipan sekaligus pengamat.
Komentar
Posting Komentar